PENDAHULUAN
Studi
Islam merupakan pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan
dalam sejarah dan kehidupan manusia.[1] Untuk
memahami Islam sendiri, Nasruddin Razak menawarkan beberapa metode, di
antaranya adalah; Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis
yang ada dalam Al Qur'an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis,
empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.[2]
Terkait dengan sebuah metode yang ditawarkan di atas, ada pertanyaan menarik
yang perlu dikaji bersama. Apakah posisi dan kondisi kaum perempuan di
masyarakat dewasa ini telah merefleksikan inspirasi posisi normatif kaum
perempuan menurut ajaran Islam yang tertera dalam Al Qur'an maupun Hadis?
Para feminis berpandangan bahwa perempuan saat ini berada dalam suatu sistem
yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil, karenanya tidak sesuai dengan
prinsip keadilan dan dasar Islam. Kaum perempuan dianggap sebagai korban
ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh
suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya dan syari'at. Mereka
beranggapan bahwa posisi kaum perempuan dalam kenyataannya di masyarakat saat
ini, tertindas oleh suatu sistem dan struktur jender, oleh karena itu
ketidakadilan tersebut harus dihentikan. Karena proses ketidakadilan tersebut
berakar pada teologi yang didasarkan pada keyakinan ajaran Ialam, maka dianggap
perlu untuk melakukan sebuah kajian Islam dengan pendekatan feminis.
Berdasarkan uraian
diatas, maka penulis akan membahas mengenai pendekatan kajian feminisme Islam
yang akan penulis uraikan pada bab selanjutnya dengan sub-sub yang akan
dibahas: pengertian feminisme, kelahiran dan perkembangan feminisme, pendekatan
feminisme dalam studi Islam, dan karakteristik pendekatan feminisme.
Adapun tujuan dibuatnya
makalah ini adalah guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah pendekatan
pengkajian Islam. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Aamiin.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Feminisme
Sebelum membahas tentang pendekatan feminis, maka terlebih dahulu kita
uraikan arti feminis itu sendiri. Feminis adalah sebuah kata yang diambil
dari kalimat Perancis (féminisme) dan
berasal dari kata Latin (femind),
kemudian mengalami sedikit perubahan. Dalam bahasa Inggris
dan juga Jerman, kata itu mempunyai arti yang sama.
Feminine (feminim)
bermakna wanita atau jenis perempuan. Istilah Feminisme dapat digunakan untuk
dua makna. Makna pertama adalah makna yang telah digunakan secara umum dan
telah dikenal, yakni sebuah pemikiran dan kebangkitan untuk membela hak-hak
wanita atas laki-laki dalam dimensi sosial, ekonomi, dan politik.
Di dalam bahasa Persia, kata feminis sepadan dengan
kata zan sâlari , zan gerâ-i dan lain-lain. Jelasnya bahwa dengan semakin laju
dan majunya berbagai pemikiran, muncul pula berbagai organisasi, lembaga dan
yayasan yang bergerak dalam bidang kewanitaan dengan nama dan label yang
bermacam-macam, seperti: organisasi wanita, lembaga wanita, emansipasi wanita,
kebangkitan wanita, dan lain-lain.[3]
B. Kelahiran dan Perkembangan Feminisme
1. Kelahiran Feminisme
Perdebatan tentang gender telah menjadi
industri besar bagi dunia pendidikan terutama dalam studi islam dan sangat
menarik untuk diperbincangkan.apalagi Kata feminisme mengundang banyak
kening mengerut. Pada banyak orang Indonesia-, baik perempuan maupun lelaki-
feminisme sering di artikan sebagai perempuan bebas kebarat-baratan (juga
kebanyakan 'murtad', menurut sebagian ustad).ironis sekali, bahwa
feminisme yang lahir untuk menghilangkan stereoritip tentang perempuan sekarang
mengundang stereoritip baru . memang banyak definisi
tentang feminisme dalam literature ilmiah. Lebih banyak lagi
dikalangan orang awam. Apabila kita tela’ah lagi kata feminis sangat erat
kaitannya dengan perempuan, karena memang pelaku feminis ini dominan kepada
perempuan. pada zaman jahiliyah dahulu perempuan selalu menjadi objek
yang tertindas dari kalangan laki-laki, bahkan sebelum datangnya rasulullah SAW
sebagai pembawai risalah kebenaran. namun sangat disayangkan walaupun akhirnya
dengan datangnya islam harkat derajat wanita telah diangkat tapi tetap saja
ajarannya yang mungkin disalah artikan dijadikan dalil oleh sebagian laki-laki
untuk tetap dapat mengontrol, menguasai kaum perempuan dengan membatasi
kehidupan kaum perempuan dari urusan-urusan public yang mana ornament-ornament
yang berlaku bagi kaum perempuan hanya terkait dengan urusan dapur, sumur dan
kasur serta ketaatan pada suami dan juga larangan wilayah public.
Dikarenakan oleh hal ini maka muncullah istilah
feminisme yang pada isunya kemunculan paham ini adalah dalam bentuk
memperjuangakan hak-hak gender yang setara dan menuntut akses perempuan dalam
kehidupan public.
2.
Perkembangan Historis Pendekatan Feminis
Terkait dengan judul
makalah ini, di mana yang kami bahas adalah pendekatan studi Islam, maka
perbincangan kami batasi dengan perkembangan historis dari feminis muslim.
Paham-paham feminisme
di dunia Islam telah berkembang sejak awal abad ke-20, terbukti lewat
pemikiran-pemikiran Aisyah Taimuriyah, penulis dan penyair Mesir, Zaynab
Fawwas, eseis Libanon, Taj As Salthanah, dari Iran, Fatme Aliye dari Turki,
Fatima Mernissi dari Maroko, Dr. Nafis Sadek dari Pakistan, Tasleema Nasreen
dari Bangladesh, Amina Wadud Muhsin, Nawal El Saadawi dari Mesir serta beberapa
feminis dari Indonesia. Tak bisa dielakkan bahwa perkembangan ini sedikit
banyak dipengaruhi oleh feminis Barat yang lebih dahulu muncul.[4]
Terkait dengan
pengertian feminis yang merupakan kesadaran akan ketertindasan salah satu
kelompok kemudian dilakukan upaya untuk menghapus ketertindasan tersebut, maka
feminis tidak terbatas pada kaum perempuan saja, akan tetapi semua orang baik
laki-laki maupun perempuan yang memiliki kesadaran akan ketertindasan dan
melakukan upaya untuk menghilangkan ketertindasan itu. Sebaliknya, perempuan
yang tidak menyadari ketertindasannya, bahkan menerima nasibnya dengan segala
kepasrahan, maka dia bukanlah bagian dari feminis. Dengan demikian, selain para
feminis perempuan di atas, di kalangan Islam juga dikenal beberapa feminis
laki-laki seperti Ali Asgar Engineer, Didin Syafrudin, Munawir Syazali dan
sebagainya.
Sebagai istilah baru,
feminisme sudah dikenal sejak awal tahun 1970-an. Terutama sejak
tulisan-tulisan mengenai feminisme muncul di jurnal-jurnal dan surat kabar.
Akan tetapi sampai akhir tahun 1980-an, orang masih takut untuk melakukan
sesuatu yang terkait dengan feminisme, apalagi menggunakannya sebagai pisau
bedah dalam memahami Islam. Baru kemudian pada tahun 1990-an istilah feminisme
yang dikaitkan dengan pemahaman Islam mulai bisa diterima. Khususnya sejak
diterbitkannya beberapa buku terjemahan milik Rifat Hasan, Ali Asgar Engineer,
Fatima Mernissi dan Amina Wadud Muhsin. Bersamaan dengan itu, dalam pemikiran
beberapa kalangan cendikiawan muslim Indonesia pun mulai dirintis usaha ijtihad
baru untuk mendapatkan penafsiran yang lebih adil dan sejajar mengenai
persoalan isu-isu perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Qurasy Shihab,
Nurcholish madjid, Djohan Effendi dan Jalaludin Rakhmat.[5]
Secara umum feminisme
Islam merupakan alat analisis maupun gerakan yang bersifat historis dan
kontekstual sesuai dengan kesadaran baru yang berkembang dalam menjawab
masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan
ketidaksejajaran, di mana hal ini ditinjau dari perspektif jender. Para feminis
muslim ini menuduh adanya kecenderungan missoginis dan patriarkhi di dalam
penafsiran teks-teks keagamaan klasik sehingga menghasilkan tafsir-tafsir
keagamaan yang bias dengan kepentingan laki-laki. Mereka mencontohkan tentang
hukum kepemimpinan, penguasaan nafkah, stereotip tentang hijab dan sebagainya,
yang dianggap menjadikan perempuan tidak mandiri secara ekonomis yang selanjutnya
tergantung secara psikologis.
Apa yang khas dari
feminisme Islam ini adalah dialog yang intensif antara prinsip-prinsip keadilan
dan kesederajatan yang ada dalam teks-teks keagamaan, dengan realitas perlakuan
terhadap perempuan yang ada atau hidup dalam masyarakat muslim. Perubahan cara
pandang dan penafsiran teks keagamaan adalah kata kunci yang paling penting dan
merupakan tujuan dari feminisme Islam, vis a vis kecenderungan mempertahankan
statusquo tafsir-tafsir tradisional yang mensubordinasikan peremuan sebagai
manusia kelas dua.
C. Pendekatan Feminisme dalam Studi
Islam
Pendekatan feminis dalam studi agama merupakan suatu
transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan jender
sebagai kategori analisis utamanya. Feminis religius berkeyakinan bahwa
feminisme dan agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan
kehidupan kontemporer pada umumnya. Sebagaimana agama, feminisme
memberikan perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat
yang paling dalam, didasarkan pada banyak pandangan interdisipliner, baik dari
antropologi, teologi, sosiologi maupun filsafat. Tujuan utama dari tugas
feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara
pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana
menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain.[6] Berpijak
dari uraian ini, untuk mempermudah pembahasan maka tidak ada salahnya jika
pendekatan feminis disamakan dengan upaya-upaya dari para feminis untuk
mengkaji Islam dari perspektif jender.
Term "transformasi kritis" mengindikasikan
adanya dua aspek pendekatan feminis yang berbeda namun saling terkait. Dimensi
kritis menentang pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama dan
praktik-praktik eksklusioner yang melegitimasi superioritas laki-laki dalam
setiap bidang sosial. Aspek transformatif kemudian meletakkan kembali
symbol-simbol sentral, teks dan ritual-ritual tradisi keagamaan secara
lebih tepat untuk memasukkan dan mengokohkan pengalaman perempuan yang
terabaikan.
Adanya kesadaran akan ketertindasan dalam dimensi
kritis di atas, menjadikan pendekatan feminis terkesan memihak dan tidak jarang
menggugat. Keberpihakan feminis terhadap nasib kaum perempuan dianggap sebagai
ancaman bagi kaum laki-laki yang berusaha untuk mempertahankan status quo, sehingga
bagi sebagian masyarakat pendekatan feminis dianggap sebagai sesuatu yang
kontroversial.
D. Karakteristik Pendekatan
Feminis
Patriarkhi yang berpijak dari konsep superioritas
laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-anak telah menjadi isu sentral dalam
wacana feminisme. Laki-laki sebagai patriarch menguasai anggota
keluarga, harta dan sumber-sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan.
Dalam realitas sosial, superioritas laki-laki juga mengendalikan norma dan
hukum kepantasan secara sepihak.
Dalam catatan sejarah, perempuan dipandang sebagai
makhluk inferior, emosional, serta kurang akalnya. Kentalnya dominasi
budaya patriarki seringkali tidak mampu direntas secara tuntas oleh agama-agama
yang dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan
yang berbasis etnik, ras, agama maupun gender. Setelah para utusan Tuhan
sebagai pewarta wahyu wafat maka secara berangsur-angsur penafsiran kitab suci
kembali dikendalikan oleh nilai-nilai patriarkis.[7]
Konstruk budaya patriarki yang mapan secara
universal dan berlangsung secara berabad-abad tidak lagi dipandang sebagai
ketimpangan, bahkan diklaim sebagai fakta alamiah. Kemunculan agama pada
dasarnya merupakan jeda yang secara periodik berusaha mencairkan kekentalan
budaya patriarki. Oleh sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan
dari mereka yang diuntungkan dari budaya patriarki. Sikap perlawanan tersebut
mengalami pasang surut dalam sejarah perkembangan manusia.
Salah satu aspek fundamental suatu agama adalah
kemampuannya untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan. Dalam
Al Qur'an digambarkan bahwa kedatangan Nabi Muhammad bertujuan untuk
membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan yang menghilangkan integritas
kemanusiaan mereka.
Setelah Nabi wafat, sumber kebenaran lebih banyak
bertumpu pada kitab suci sebagai kodifikasi firman Tuhan dan Hadis sebagai
sabda Nabi yang berfungsi sebagai penjelas pesan-pesan wahyu yang bersifat
general. Dalam merespon masalah-masalah yang berkembang, seiring dengan
meluasnya jangkauan geografis dan lintasan kultural umat, kedua sumber tersebut
membutuhkan perantara untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan kebenaran Ilahi
ini dalam satu konteks yang berbeda dengan masa pewahyuan. Proses penafsiran
ini lebih lazim disebut penafsiran, di mana terjadi dialektis antara teks dan
konteks yang dalam hal ini diwakili oleh perspektif para penafsir. Tanpa
menuduh para mufassir yang dengan sengaja merendahkan perempuan, namun
perspektif sebagai produk dari sosialisasi kultur secara kolektif, sedikit
banyak akan mempengaruhi penafsiran mereka.
Dalam wacana keagamaan, perspektif para penafsir
memiliki andil dalam menerjemahkan kebenaran ilahi. Tidak seperti pewahyuan
yang datang begitu saja, perspektif penafsir adalah suatu kondisi mentalitas
yang terbentuk dari proses sosialisasi kolektif dari suatu konstruk budaya
tertentu dan mengalami proses internalisasi individual. Dengan kata lain,
perspektif adalah produk dari suatu kultur yang dalam kadar tertentu
berpengaruh pada sikap seseorang, bahkan pada tingkat apapun obyektifitas
dipertahankan.
Di samping itu, proses penafsiran juga melibatkan
suatu persaingan untuk menetapkan otoritas dan kompetensi penafsir, baik dari
segi strata sosial, etnisitas dan juga jender. Kompetensi tersebut harus
didukung oleh suatu mekanisme untuk menetapakan kebenaran resmi yang pada
gilirannya dapat mengokohkan otoritas penafsir, baik secara individual maupun
kolektif. Kedua aspek inilah yang berpotensi untuk mereduksi semangat
emansipasi wahyu dengan lebih banyak melegitimasi kenyataan kultural di mana
penafsiran dilakukan.[8]
Sebelumnya telah dikatakan bahwa yang menjadi kata
kunci dan tujuan dari feminis muslim adalah perubahan cara pandang dan penafsiran
teks keagamaan, di mana hal ini dipakai untuk menghadapi fenomena yang telah
diuraikan atas. Untuk itu perlu kami ketengahkan
beberapa pemikiran dari Dr. Faisar Ananda Arfa mengenai
dasar-dasar pemikiran serta metode pemikiran yang digunakan oleh para feminis
dalam mengkaji Islam saat ini, yang kami anggap dapat mewakili kata kunci
perubahan cara pandang dan penafsiran teks-teks keagamaan di atas.
a.
Dasar-Dasar
Pemikiran Feminis Muslim
Dalam komentarnya tentang perempuan, para feminis
memiliki gagasan baru terkait dengan status dan peran perempuan berdasarkan Al
Quran dan Hadis dengan menggunakan prinsip yang berbeda dari pendapat generasi
sebelumnya. Gagasan baru ini merupakan landasan filosofis yang menjadi pijakan
bagi para feminis sebagai landasan teoritis dalam mengembangkan pemikiran yang
baru mengenai perempuan dalam Islam.
1. Pintu ijtihad tetap terbuka.
Pada pertengahan abad keempat hijrah, para ulama
menyatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Dengan terjadinya kontak antara
dunia Islam dengan kebudayaan Eropa, timbullah kesadaran baru bahwa dengan
ditutupnya pintu ijtihad, ilmu pengetahuan serta kebudayaan umat Islam
mengalami stagnasi. Maka sejak saat itu lahirlah para pembaharu yang
merekomendasikan terbukanya kembali pintu ijtihad.
Secara teoritis para ulama sebagian besar mengakui
ijtihad sebagai sumber hukum yang ke tiga setelah Al Qur'an dan hadis, akan
tetapi pada tataran aplikatif hal ini sama sekali berbeda.[9] Dengan
persyaratan yang ditetapkan bagi seorang mujtahid, maka mustahil akan muncul
seorang mujtahid mustaqil yang memenuhi kriteria yang diterapkan pada kitab-kitab
ushul klasik.
Di samping itu ruang gerak dan jangkauan ijtihad
juga dipersempit. Ijtihad hanya boleh dilakukan pada ayat-ayat zanni dan tidak
dapat diterapkan pada ayat-ayat yang bersifat qad'i. Yang menjadi persoalan
adalah mengenai penetapan antara ayat-ayat yang bersifat qad'i dan yang
zanni itu sendiri. Terkait dengan ayat-ayat jender, kaum tradisionalis
mengklaimnya sebagai ayat yang qad'i, sehingga tidak dapat dilakukan
reinterpretasi terhadapnya. Dalam hal ini para feminis muslim berusaha untuk
melakukan reinterpretasi dan reaktualisasi terhadap pemahaman ajaran Islam yang
dianggap tidak relevan dengan perubahan tempat dan zaman.[10]
2. Melepaskan diri dari keterikatan
masa lalu
Bagi kalangan tradisionalis maupun neo konservatif,
ajaran Islam tentang kedudukan perempuan, hak dan kedudukan mereka telah ditata
rapi dan lengkap oleh Al Qur'an, sunnah dan ijtihad para ulama masa lalu
sehingga menjadi blue printmasyarakat muslim yang harus diterapkan
sepanjang zaman. Ketika ada yang mempertanyakan hal tersebut dan berusaha untuk
melakukan modifikasi maka mereka mencurigainya sebagai suatu tindakan perusakan
terhadap sendi-sendi ajaran-ajaran Islam.
Harun Nasution mengisyaratkan agar umat Islam
berpikir liberal yang berarti melepaskan diri dari tradisi dan penafsiran pada
abad pertengahan. Menurutnya pemikiran dan penafsiran tidak bersifat mutlak
karena penafsiran terikat pada zamannya. Senada dengan pendapat itu, Munawir
Sadzali mengutip kata-kata Muhammad Abduh bahwa kita wajib membebaskan diri
dari belenggu taqlid. Dia menekankan perlunya reaktualisasi ajaran-ajaran Islam
yang berkaitan dengan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya persoalan perempuan
yang menurutnya tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.[11]
3. Perubahan zaman dapat melahirkan
perubahan ajaran
Menurut Harun Nasution, agama dan masyarakat
memiliki pengaruh timbal balik. Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat
mempengaruhi pemahaman terhadap agama. Dalam kehidupan keluarga misalnya,
ajaran dasar Al Qur'an mempengaruhi perkawinan, perceraian dan poligami.
Ketiganya mempengaruhi sistem keluarga umat Islam, namun penerapannya
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.
Masih menurut Harun, kebudayaan masa lampau mengenai
perempuan mempengaruhi ajaran agama mengenai cara pelaksanaan pernikahan,
perceraian dan poligami. Dengan perubahan kebudayaan di masa kini menyebabkan
perubahan dalam ketiga hal di atas. Dia menyatakan bahwa kitab-kitab fiqh
yang kini beredar adalah produk dari ulama klasik yang berijtihad untuk
zamannya. Sementara zaman ketika kitab-kitab fiqh tersebut ditulis dengan zaman
sekarang sudah terjadi perubahan pesat, sehingga perlu diadakan reinterpretasi
terhadap kitab-kitab tersebut.[12]
4. Superioritas akal atas wahyu
Harun mengklaim bahwa manusia dengan akalnya telah
dapat menjalankan hidupnya di dunia, sebab akal dapat membedakan antara
perbuatan jahat dan baik. Oleh karena itu manusia dapat menciptakan peraturan,
hukum dan sanksi-sanksinya. Dengan kemampuan akal membedakan budi pekerti,
manusia dapat membuat norma-norma yang hars dipatuhi sesame manusia, sehungga
mereka tidak perlu menunggu wahyu untuk mengatur hidup kemasyarakatannya. Wahyu
turun untuk menyempurnakan peraturan yang dibuat oleh akal manusia.
Munawir Sadzali menjelaskan bahwa dalam rangka
menentukan hukum dan perubahan serta dasar pertimbangan kea rah tersebut, Allah
telah memberikan kewenangan untuk mempertimbangkannya melalui akal budi
manusia. dia mendasarkan mendasaran pendapatnya pada Muhammad Abduh yang
menyatakan bahwa untuk memperbaharui pemahaman agama yang harus dilakukan
adalah membebaskan diri dari belenggu taqlid dan kembali kepada
metode pemahaman sebelum terjadinya ikhtilaf.
Untuk menghindari bahaya anarki berpikir, Munawir
mengusulkan hendaknya pemanfaatan akal itu dilakukan ecara kolektif, dengan
melibatkan para ulama di berbagai ilmu terkait. Dalam memahami ajaran Islam
tidak terikat dengan arti harfiyah dari ayat dan hadis dengan tetap
mengacu pada maqasid al tasyri' yang bertalian dengan penegakan dan pemerataan
keadilan, kebaikan serta kemaslahatan bagi asyarakat umum.[13]
5. Maslahat sebagai tujuan syari'at
Islam
Para feminis juga melandasi pemikirannya denga
pendapat bahwa kemaslahatan merupakan tujuan dari ditetapkannya syari'at Islam.
dalam hal ini Munawir Sadzali merujuk pendapat Al Thufi yang mendahulukan
maslahat atas nas dan ijma'. Pendapatini berpangkal pada
konsep maqasidu al tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyariatkan dengan
tujuan untuk mewujudkan dan melindungi kemaslahatan umat manusia.
Terkait dengan hal di atas, Ibrahm Husein
mendiskripsika 4 poin yang melandasi pemikiran al Thufi tersebut. Pertama,
akal semata tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburuka.
Akan tetapi ia membatasi kemandirian akal hanya dalam hal muamalah danadat
istiadat, dan ia melepas ketergantungan pada nas baik dan buruk dalam
kedua bidang tersebut. Kedua, maslahat merupakan dalil syar'imandiri
yang kehujjahannya tidak bergantung pada konfirmasi nas, namun pada akal
semata.Ketiga, maslahat hanya dijadikan dalil dalam hal muamalat dan adat
istiadat saja, sedangkan dalam hal ibadah dan muqaddarat maslahat
tidak dapat digunakan sebagai dalil. Keempat, aslahat merupakan dalil syar'i
yang terkuat. Ia bukan hanya semata-mata hujjah ketika tidak ada nas dan
ijma', akam tetapi ia harus didahulukan atas nas dan ijma' pada saat terjadi
pertentangan antara keduanya.[14]
6. Keadilan sebagai dasar kemaslahatan
Islam memiliki misi universal, yaitu menegakkan
keadilan demi tercapainya kemaslahatan umat manusia yang juga merupakan tujuan
dari diterapkannya syari'at Islam. Pesan universal ini tercantum secara jelas
dalam Al Qur'an serta berlaku dalam setiap tempat dan waktu. Sementara ukuran
keadilan akan berbeda dari masa ke masa dan antara satu tempat dengan tempat
lain. Sebagai contoh, anak perempuan mendapat bagian harta waris setengah dari
anak laki-laki pada saat Al qur'an diturunkan merupakan wujud dari suatu
keadilan, mengingat sebelumnya perempuan tidak mendapatkan sedikitpun dari
bagian harta waris. Dengan perubahan zaman yang disertai dengan perubahan
kedudukan perempuan dalam sistem masyarakat, maka nilai dan ukuran keadilan
itupun sudah selayaknya turut berubah. Hal ini nampak dalam tindakan kaum
muslim yang membagi harta warisan sebelum waktunya, dengan kata lain
memberikannya dalam bentuk hibah. Bagi kaum feminis hal ini merupakan indikasi
dari ketidakpuasan masyarakat dengan hukum Islam dalam kaitannya dengan mawaris
yang selama ini dipahami secara tekstual. Dengan alasan ini maka kaum feminis
menawarkan suatu solusi metode kontekstualisasi dan reaktualisasi dalam
pemahaman ayat al Qur'an. Menurut mereka pembagian yang tersurat dalam Al
Qur'an merupakan cara Al Qur'an untuk mewujudkan keadilan. Jika keadilan dirasa
tidak dapat dicapai dengan ketentuan tersebut, maka manusia memiliki wewenang
untuk menyamaratakan pembagian.[15]
b.
Metode
Pemikiran Para Feminis
1. Mereduksi Kekuatan Qat'i
Sebenarnya terdapat titik temu antara para feminis
dengan para pengkritik mereka dalam tataran teologis, yaitu dalam menggunakan
ayat-ayat Al Qur'an sebagai dasar argumen mereka. Sebagai contoh, mengenai
penciptaan manusia mereka sama-sama mengutip surat ali Imran : 195, mengenai
amal perbuatan manusia mereka mengutip surat al Mumtahanah : 12 dan tentang
keadilan mereka mengutip surat al Baqarah ayat 228. Akan tetapi pada tataran
aplikatifnya dan ketika bersentuhan dengan ranah sosial, ayat-ayat al Qur'an seolah-olah
banyak yang bertentangan dengan ayat yang mendukung keadilan jender. Misalkan
saja ayat tentang jilbab, pambagian mawaris, nilai kesaksian perempuan setengah
dari laki-laki, poligami dan masalah yang terkait dengan pernikahan lainnya.
Dalam memahami ayat-ayat ini, antara kaum feminis dan pengkritiknya terjadi
perbedaan yang sangat tajam.
Menurut pemahaman tradisional, aturan-aturan di atas
merupakan hukum yang wajib untuk ditaati tanpa perlu dipertanyakan lagi, sebab
ketentuan tersebut bersifat qat'i al subut dan qat'i ad
dilalah. Sedangkan menurut para feminis ayat-ayat tersebut harus dipahami
secara kontekstual dan perlu direkonstruksi agar sesuai dengan pesan keadilan
yang termuat dalam ayat lain. Selajutnya para feminis berusaha melonggarkan diri
dari ikatan fiqh maupun usul fiqh yang telah menetapkan kaidah qat'i dilalah
dengan konsekuensi menerima secara total perubahan dengan beberapa
metode. Pertama,dengan memperkecil jumlah ayat-ayat qat'i. al Qur'an
diakui keqat'iannya dari sudut subutnya, namun dari segi dalalahnya ditimbulkan
kesan bahwa jumlah ayat yang qat'i sangat sedikit sehingga tidak banyak ayat Al
Qur'an yang bersifat absolut. Kedua, keqat'ian suatu ayat mencakup
pengertian di balik teks. Artinya, keqat'ian al Qur'an tetap diakui, namun
pemahamannya tidak secara tekstual, melainkan dari sisi pesan universal yang
terkandung di dalamnya. Konsep asbabun nuzul pun menurut mereka perlu
diperluas, yang semula hanya merupakan sebab turunnya ayat diperluas menjadi
kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat ketika al Qur'an
turun. Ketiga,memfiqhkan hukum qat'i. sebuah nas yang dianggap
qat'i masih mungkin dipertanyakan apakah qat'inya fi jami' al
ahwal atau fi ba'di al ahwal. Jika merupakan fi ba'di al ahwal maka
dapat difiqhkan. Jika tidak, maka semua hukum qat'i dari segi penerapan
berlaku fi jami' al ahwal. Sebab kalau qat'inya umum pasti ada yang
mentakhsisnya, jika qat'inya mutlaq ada yang mentaqyidnya. Oleh karena itu,
memfiqhkan qat'i ini dari segi pentatbiqannya, bukan dari lafalnya yang
menafikan seluruh bentuk ihtimal.[16]
2. Mengutamakan ayat-ayat kulli daripada ayat-ayat juz'i
Ayat-ayat kulli merupakan ayat yang turun di Mekah
sedangkan ayat-ayat juz'i turun di Madinah. Metode ini dapat dilihat dari
ayat-ayat yang dipergunakan Utuk mendasari argumen mereka. Mereka lebih
cenderung memilih ayat-ayat makiyah yang bersifat umum. Ayat-ayat makiyah
merupakan pesan Islam yang eternal dan fundamental, menempatkan penghormatan
yang inherent bagi semua manusia tanpa membedakan jender, kepercayaan agama,
suku dan lainnya. Akan tetapi ketika pesan ini ditolak dan mayoritas masyarakat
menunjukkan ketidaksiapan mereka terhadap penerapannya, maka pesan yang lebih
realistis dari periode Madinah dipersiapkan dan diterapkan. Dalam hal ini,
aspek-aspek dari pesan Makiyyah yang belum sesuai dengan kondisi ditangguhkan
dan digantikan oleh prinsip-prinsip yang lebih praktis yang diwahyukan dan
diterapkan selama periode Madinah. Sedangkan pesan-pesan Makiyyah itu tidak
hilang sebagai sumber hukum, namun ditunda dan dipersiapkan untuk kondisi masa
depan yang memungkunkan. Jika tidak, maka aspek-aspek Islam yang eternal dan
superior itu akan lenyap. Dengan demikian yang menjadi tesis sentral dalam hal
ini adalah untuk merespon ketentuan wahyu.[17]
3. Naskh sebagai metode antisipasi terhadap
perubahan hukum
Munawir Sadzali mengangkat metode klasik yang
disebut naskh, akan tetapi ia menggunakannya dengan cara yang
berbeda, sehingga menunjukkan perubahan yang radikal karena memberikan
peran yang luas kepada akal untuk melakukan reinterpretasi kepada ayat dan
hadis. Dengan bersandar pada pendapat ulama terdahulu tentang terjadinya naskh
dalam al Qur'an maupun hadis, ia juga mengusung metode ini untuk mengklaim
bahwa perubahan hukum adalah sesuatu hal yang niscaya dan sesuai dengan
perkembangan zaman dan perbedaan tempat. Bedanya dengan metode terdaulu adalah,
apabila para ulama membatasi terjadinya naskh dalam lingkaran wahyu akan tetapi
ia menjadikan akal budi manusia sebagai alat yang dapat menaskh wahyu, baik
yang termaktub dalam ayat maupun hadis nabi. Pemikiran ini bertentangan dengan
pemahaman yang telah mapan bahwa akal manusia tidak berwenang menghapus hukum
Allah.[18]
4. Kontekstualisasi ajaran Islam
Dalam menafsirkan suatu ayat atau istinbat,
hukum ulama selalu menjadikanasbabun nuzul sebagai syarat keabsahan sebuah
penafsiran. Jumhur ulama sepakat dalam menetapkan sebuah kaidah al ibratu
bi umumi lafzi la bi khususi sabab. Jadi focus utama dalam kaidah ini
adalah bunyi teks terhadap suatu kasus, bukan proses sebuah kasus itu terjadi.
Adapun para feminis menggunakan kaidah yang
sebaliknya dengan mengkompromikannya. Dilihat dari argumen mereka, metode yang
digunakan adalah kombinasi dari kaidah al ibratu bi 'umui al
lafz dan al ibratu bi khususi al asbab. Artinya, dengan kaidah
ini sebab-sebab turunnya ayat menjadi alat penentu dalam penafsiran suatu ayat.
Yang lebih menarik, definisi asbabun nuzul di kalangan feminis meluas
dari sekedar turun dalam pengertian sempit kepada konteks sosial masyarakat
ketika ayat tersebut turun.
Berdasarkan argumen ini maka ketika pembicaraan
tentang ayat kepemimpinan lali-laki atas perempuan, ayat tersebut tidak
ditetapkan secara general, namun secara khusus dalam lingkup rumah tangga.
Berbeda dengan penafsiran klasik yang menerapkannya secara general sehingga
membatasi seorang perempuan untuk menjadi pemimpin di wilayah publik.[19]
5. Penerapan metode tafsir maudu'i
Metode tafsir yang dominan dipergunakan dalam
sejarah adalah metode tahlili yang menganalisis secara kronologis dan
menjelaskan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al Qur'an. Dengan
metode ini yang menjadi sorotan utama adalah teks. Kelemahan dalam menggunakan
metode ini adalah tidak mendapatkan jawaban yang utuh dan tuntas.
Oleh karena it,metode maudu'i menjadi metode
alternatifyang sangat diminati oleh kalangan ahli tafsir modern dan menjadi
pilihan bagi para feminis untuk menafsirkan ayat-ayat jender. Quraisy Shihab
mendefinisikannya sebagai tafsir yang menetakan topik tertentu dengan jalan
menghimpun seluruh atau sebagian ayat dari beberapa surat yang membicarakan
masalah tertentu yang kemudian dikaitkan antara yang satu dengan yang lain.
Kemudian diambil kesimpulan secara menyeluruh menurut pandangan al Qur'an.
Dengan metode pendekatan seperti ini terjadi
perubahan penafsiran yang cukup radikal. Misalnya, bila menggunakan
metode tahlili kesan yang ditimbulkan adalah bahwa Islam memberikan
legitimasi terhadap poligami berdasarkan penafsiran terhadap surat an Nisa' :
3. akan tetapi dengan metode maudu'i ditimbulkan kesan selektifitas
al Qur'an, bahkan pelarangan terhadap praktik poligami. Kerja metode ini adalah
memusatkan perhatian kepada ayat-ayat al Qur'an secara umum tentang suatu tema,
termasuk asbabun nuzul, kemudian menetapkan satu kesimpulan. Sehingga meskipun
surat an Nisa' : 3 mengesankan kebolehan poligami dengan persyaratan dapat
berlaku adil, namun pada ayat 129 dapat diartikan sebagai penolakan terhadap
praktik poligami.[20]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
v Feminis adalah sebuah kata yang diambil
dari kalimat Perancis (féminisme) dan
berasal dari kata Latin (femind),
kemudian mengalami sedikit perubahan. Feminine (feminim) bermakna wanita atau jenis
perempuan.
v Pendekatan
feminis dalam studi agama merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif
teoritis yang ada dengan menggunakan jender sebagai kategori analisis utamanya.
Feminis religius berkeyakinan bahwa feminisme dan agama keduanya sangat
signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada
umumnya. Sebagaimana agama, feminisme memberikan perhatian pada makna identitas
dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam, didasarkan pada banyak
pandangan interdisipliner, baik dari antropologi, teologi, sosiologi maupun
filsafat.
v Tujuan
utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat
persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian,
dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu
dengan yang lain.
v Dasar-Dasar
Pemikiran Feminis Muslim: Pintu ijtihad tetap terbuka, Melepaskan diri dari
keterikatan masa lalu, Perubahan zaman dapat melahirkan perubahan ajaran, Superioritas
akal atas wahyu, Maslahat sebagai tujuan syari'at Islam dan Keadilan sebagai
dasar kemaslahatan.
v Metode
Pemikiran Para Feminis: Mereduksi Kekuatan Qat'i, Mengutamakan ayat-ayat kulli
dari pada ayat-ayat juz'i, Naskh sebagai metode antisipasi terhadap
perubahan hukum, Kontekstualisasi ajaran Islam dan Penerapan metode tafsir maudu'i.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin.tt. Metodologi Studi Islam, Bandung: Rajawali Press
Ananda Arfa, Faisar. 2004. Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Nasution, Khoirudin. 2002. Ushul Fiqh: Sebuah Kajian Fiqh Perempuan, Mazhab
Jogja, Menggagas paradigma ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Fakultas
Syariah Sunan Kaijaga.
Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam,
Jakarta: Gema Insani.
Ruhaini, Siti, Dzuhayatin, MA., dkk, tt. Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Jender dalamIslam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Morgan, Sue. 2002. Pendekatan Feminis, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. Peter
Connolly, Yogyakarta: Lkis.
Baydhawy. Zakiyudin. Ed. 1997. Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997.
[1] Dr. H.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,
Bandung: Rajawali Press, hlm. 104
[3] http//wikipidia.orang/wiki/feminisme,
diakses Sabtu, 13 Desember 2014 Pukul: 11:52 WIB
[4] Siti
Muslikhati, Feminisme dan
Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004,
hlm. 46
[5] Dra.
Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA., dkk, Rekonstruksi
Metodologis Wacana Kesetaraan Jender dalamIslam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hlm. 28
[6] Sue
Morgan, Pendekatan Feminis, Aneka
Pendekatan Studi Agama, ed. Peter Connolly, Yogyakarta: LKis, 2002, hlm.
63.
[7] Dr.
Khoirudin Nasution, Ushul Fiqh:
Sebuah Kajian Fiqh Perempuan, Mazhab Jogja,
Menggagas paradigma ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Fakultas Syariah
Sunan Kaijaga, 2002, hlm. 253
[8] Zakiyudin
Baydhawy. ed, Wacana Teologi Feminis,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 11
[9] Dr.
Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam
Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, hlm. 138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar