Minggu, 19 April 2015

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL - PENDEKATAN BEHAVIORAL

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL - PENDEKATAN BEHAVIORAL



BAB I
PENDAHULUAN
Banyak teori tentang belajar yang telah berkembang mulai abad ke 19 sampai sekarang ini. Pada awal abad ke-19 teori belajar yang berkembang pesat dan memberi banyak sumbangan terhadap para ahli psikologi adalah teori belajar tingkah laku (behaviorisme) yang awal mulanya dikembangkan oleh psikolog Rusia Ivan Pavlov (tahun 1900-an) dengan teorinya yang dikenal dengan istilah pengkondisian klasik (classical conditioning) dan kemudian teori belajar tingkah laku ini dikembangkan oleh beberapa ahli psikologi yang lain seperti Edward Thorndike, B.F Skinner dan Gestalt.
Teori belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penguatan negatif. Evaluasi atau Penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah,tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh, baik yang dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
Proses yang menunjukkan hubungan secara terus-menerus antara respon yang muncul serta rangsangan yang diberikan dinamakan suatu proses belajar. Dimana dalam makalah ini akan dibahas tentang salah satu teori belajar, yaitu Operant Conditioning yang dikemukakan oleh Skinner.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Skinner, dia berpendapat bahwa operant conditioning ini merupakan suatu situasi belajar, dimana suatu respon dibuat lebih kuat, akibat dari pemberian reinforcement secara langsung. Dan dalam pembentukan prilaku ini, Skinner memiliki prosedur-prosedur tertentu. Dan reinforcement yang diberikan terbagi menjadi 2 macam, yaitu reinforcement positif dan negatif. Dan perlu diperhatikan waktu dalam memberikan reinforcement. Dan sebaiknya dalam pemberian reinforcement, dilakukan secara bervariasi dan berselang-seling.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis akan membahas secara lebih dalam mengenai pendekatan behavioral dan PAI dengan point-point sebagai berikut:
1.      Pengertian pendekatan dalam pembelajaran
2.      Pengertian Pendekatan Behavioral
3.      Beberapa pendekatan belajar dalam Behavioral dan PAI
4.      Meningkatkan prilaku yang diharapkan dalam PAI
5.      Tindak lanjut pada penelitian dan latihan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendekatan dalam Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran dapat berarti aturan pembelajaran yang berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa dalam pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran belajar, Selain itu pendekatan pembelajaran adalah arah suatu kebijaksanaan yang ditempuh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pengajaran dilihat dari bagaimana materi disajikan.
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran adalah cara yang digunakan oleh guru dalam menyajikan suatu materi yang memungkinkan siswa belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. [1]
Dilihat  dari  pendekatannya,  pembelajaran  terdapat  dua  jenis  pendekatan,  yaitu: 
a.       Pendekatan  pembelajaran  yang  berorientasi  atau  berpusat  pada  siswa  (student  centered  approach), dimana pada pendekatan jenis ini guru melakukan pendekatan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran, dan
b.      Pendekatan  pembelajaran  yang  berorientasi  atau berpusat pada guru (teacher centered approach), dimana pada pendekatan jenis ini guru menjadi subjek utama dalam proses pembelajaran.[2]

B.     Pengertian Pendekatan Behaviorial
Pelopor aliran behaviorisme ini adalah John Broadus Watson. Melalui studi eksperimental, Watson menjelaskan konsep kepribadian dengan mempelajari tingkah laku manusia yang mengacu pada konsep stimulus-respons.[3]
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. [4]
Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil jelasnya, aliran ini memandang bahwa hakekat belajar adalah perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R (stimulus-respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons tertentu terhadap apa yang datang dari luar individu. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku dari stimulus yang diterimanya.[5]
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.

C.    Beberapa Pendekatan Belajar Behavioral dan PAI
a.      Teori –Teori Aliaran Behaviorilal
Beberapa teori yang termasuk kategori aliran behaviorisme adalah koneksionisme, pembiasaan klasik (classical conditioning), pembiasaan perilaku respons (operant conditioning).

1.      Koneksionisme
Tokoh paling terkenal dari teori koneksionisme adalah Edward Lee Thorndike. Koneksionisme merupakan teori paling awal dari rumpun behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan antara stimulus-respons. Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus respons sebanyak-banyaknya. Siapa yang menguasai hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya ialah orang yang pandai atau yang berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons ini dilakukan melalui ulangan-ulangan.[6]
Secara garis besar, teori koneksionisme Thorndike dapat dijelaskan dengan satu kesimpulan bahwa “belajar” dapat terjadi dengan dibentuknya hubungan, atau ikatan, atau asosiasi, atau koneksi netral yang kuat antara stimulus dan respons. Untuk dapat mencapai hubungan antara stimulus dan respons ini, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat, serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors) terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini, Thorndike mengutarakan bila bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error learning atau selecting-connecting learning dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.[7]
Berkaitan dengan prinsip atau hukum dalam belajar, Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum. Pertama, law of readness, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, ulangan. Ketiga, law of effect, belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang lebih baik.[8]

2.      Teori Pembiasaan Klasik (Classical Conditioning)
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) sebagaimana telah diuraikan di awal. Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu.[9]
Berdasarkan eksperimen dengan menggunakan anjing, Pavlov menyimpulkan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu. Hal ini dikarenakan classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut.[10]
Teori ini disebut classical karena yang mengawali nama teori ini untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di bidang conditioning (upaya pembiasaan) serta untuk membedakan dari teori conditioning lainnya.[11]

3.      Teori Pembiasaan Perilaku Respons (Operant Conditioning)
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner.[12]
Skinner memulai penemuan teori belajarnya dengan kepercayaannya bahwa prinsip-prinsip kondisioning klasik hanya sebagian kecil dari perilaku yang bisa dipelajari. Banyak perilaku manusia adalah operant, bukan responden. Kondisioning klasik hanya menjelaskan bagaimana perilaku yang ada dipasangkan dengan rangsangan atau stimulus baru, tetapi tidak menjelaskan bagaimana perilaku operant baru dicapai. Operant adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat. Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer (perangsang/hadiah).
Reinforcer ini sendiri seseungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.[13]  Misalnya, jika seseorang telah belajar melakukan sesuatu lalu mendapat hadiah sebagai reinforcer, maka ia akan menjadi lebih giat dalam belajar.

b.      Penerapan Teori Behavioral untuk Belajar Dalam PAI
1.      Koneksionisme
Menurut saya teori koneksionisme itu cocok bila diterapkan dalam PAI. Sebab dalam koneksionisme, belajar merupakan pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Artinya, dalam belajar PAI hal utama yang paling menentukan adalah adanya stimulus yang bisa membangkitkan dan membentuk minat siswa untuk mau belajar PAI, dimana asa puas yang ditimbulakan akan mendorong pembelajaran.
Selain stimulus-respon, teori ini juga sering disebut dengan “trial and error” yang berarti berani mencoba tanpa takut salah. Jadi, dalam belajar PAI siswa diharapkan untuk berani mencoba mempelajari PAI. Sehingga siswa menemukan keberhasilan untuk mencapai tujuan. Umpanya, dalam mata pelajaran PAI siswa diberi beberapa pertanyaan dan siswa juga dituntut untuk dapat menjawabnya tapi dengan teori koneksionisme trial and error siswa diberi kesempatan untuk berani menjawab pertanyaan yang diajukan tanpa rasa takut salah dalam menjawab dan akan tetap terus berusaha sehingga ia dapat menjawab pertanyan tersebut dengan sempurna.

2.      Operant Conditioning
Dalam penerapanya teori operant conditioniang juga cocok bagi PAI, sebab dalam teori ini “reward” atau “reinforcement” dianggap sebagai faktor terpenting dalam proses belajar, artinya bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor lingkungan, rangsangan, stimulus). Dilanjutkan bahwa dengan memberikan ganjaran positif, suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberikan ganjaran negatis suatu perilaku akan dihambat.
Dalam situasi belajar PAI, hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tidak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement langsung. Hukuman menunjukkan apa yang tidakboleh dilakukan oleh murid. Sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid. Sebagai contoh; murid yang tidak menghafalkan pelajaran Qur’an hadits selalu disuruh berdiri didepan kelasoleh gurunya. Sebaliknya jika ia sudah hafal maka ia disuruh duduk kembali dan dipuji oleh gurunya. Lama-kelamaan anak itu belajar menghafal setiap pelajaran Qur’an hadits.

3.      Classical Conditioning
Teori classical conditioning juga cocok bila diterapkan dalam pembelajaran PAI, sebab belajar erat hubungannya dengan prinsip penguatan kembali. Atau dengan perkataan lain, ulangan –ulangn dalam hal belajar adalah penting. Sebagai contoh; siswa-siswa sedang membaca do’a diawal pelajaran (UR) apabila melihat seorang guru hendak masuk kelas (US) mulanya berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel masuk kelas (CS) bersama-sam dengan datangnya guru ke kelas (UCS). Setelah kegiatan berulang-ulang ini selesai, suatu hari suara bel masuk kelas tadi berbunyi tanpa disertai dengan kedatangan guru ke kelas ternyata siswa-siswa tersebut tetap membaca do’a juga (CR) meskipun hanya mendengarkan suara bel. Jadi (CS) akan menghasilkan (CR) apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama.

D.    Meningkatkan Prilaku yang di Harapkan dalam PAI
Tujuan pendidikan agama lebih merupakan suatu upaya untuk membangkitkan intuisi agama dan kesiapan rohani dalam mencapai pengalaman transendental. Dengan demikian tujuan utamanya bukanlah sekedar mengalihkan pengetahuan dan keterampilan (sebagai isi pendidikan), melainkan lebih merupakan suatu ikhtiar untuk menggugah fitroh insaniyah (to stir up certain innate powers), sehingga peserta didik bisa menjadi penganut atau pemeluk agama yang taat dan baik (muslim pari-purna).
Sedangkan pendidikan pada umumnya, bertujuan lebih menitik beratkan pada pemberian pengetahuan dan ketrampilan khusus dan secara ketat berhubungan dengan pertumbuhan serta pemilahan areal kerja yang diperlukan dalam masyarakat.
Dalam hal ini dengan menggunakan pendekatan behavioral baik menggunakan teori konesionisme, teori Classical Condisioning, maupun menggunakan teori Operant Condisioning  bisa meningkatkan prilaku pada anak didik seperti yang diharapkan dalam PAI, diantaranya dengan melakukan pengembangan suatu program pengubahan tingkah laku, dengan langkah-langkah dasar seperti:[14]
1)      Mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang dapat diubah
2)      Memperoleh suatu gambaran dari tingkah laku tingkat operant dimana kita mempertimbangkan untuk mengubah
3)      Mengatur situasi belajar atau situasi perlakuan sehingga tingkah laku yang kita inginkan terjadi
4)      Mengidentifikasi reinforcer yang potensial
5)      Membentuk dan/atau memperkuat tingkah laku yang diinginkan, dan jika perlu menggunakan prosedur memperlemah tingkah laku yang tidak tepat
6)      Menyusun catatan dari tingkah laku yang diperketat untuk menentukan apakah penguatan atau frekuensi dari respons bertambah.

E.     Tindak Lanjut Pada Penelitian dan Latihan
Sebagai tindak lanjut dari makalah ini, maka penulis menyarankan agar bisa dilakukan penelitian lebih lanjut guna hasil yang lebih baik, serta diadakannya penyuluhan/pelatihan bagi semua tenaga kependidikan khususnya guru-guru mengenai pendekatan-pendekatan yang bisa diterapkan dalam pembelajaran pada semua mata pelajaran (khususnya mata pelajaran PAI) untuk mendapat hasil belajar dan prilaku/ akhlak  yang terbaik bagi anak-anak generasi penerus bangsa.

BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian pada bab sebelumnya, maka dapat penulis tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
v  Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Menurut teori ini peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
v  Beberapa teori yang termasuk kategori aliran behaviorisme adalah koneksionisme, pembiasaan klasik (classical conditioning), pembiasaan perilaku respons (operant conditioning).
v  Dengan menggunakan pendekatan behavioral baik menggunakan teori konesionisme, teori Classical Condisioning, maupun menggunakan teori Operant Condisioning  bisa meningkatkan prilaku pada anak didik seperti yang diharapkan dalam PAI, diantaranya dengan melakukan pengembangan suatu program pengubahan tingkah laku, dengan langkah-langkah dasar seperti:
Ø  Mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang dapat diubah
Ø  Memperoleh suatu gambaran dari tingkah laku tingkat operant dimana kita mempertimbangkan untuk mengubah
Ø  Mengatur situasi belajar atau situasi perlakuan sehingga tingkah laku yang kita inginkan terjadi
Ø  Mengidentifikasi reinforcer yang potensial
Ø  Membentuk dan/atau memperkuat tingkah laku yang diinginkan, dan jika perlu menggunakan prosedur memperlemah tingkah laku yang tidak tepat
Ø  Menyusun catatan dari tingkah laku yang diperketat untuk menentukan apakah penguatan atau frekuensi dari respons bertambah.


DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya
Syah, Muhibbin, 1999, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV Bandung: Remaja Rosdakarya
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan,Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya
Roziqin,  Muhammad Zainur, 2007, Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola Interkasi Guru-Murid di Era Global, Malang: Averroes Press
Sanjaya, Wina, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana
Djaali, 2007, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara

Internet:
Ratna Sari. 2014. Pendekatan dalam Pembelajaran PAI. Diakses dari : http://dianratnasari31.blogspot.com/2014/03/pendekatan-dalam-pembelajaran-pai.html. pada tanggal 25 November 2014 Pukul 19:38 WIb
Djamarah syaiful bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (suatu pendekatan teoritis psikologis). (Jakarta; Rineka Cipta.2005) hal 53
Muhammad Zainudin. 2011. Teori Belajar Menurut Aliran Behavioral. Diakses melalui http://banyubeningku.blogspot.com/2011/03/teori-belajar-menurut-aliran.html. pada tanggal 30 November 2014 Pukul 18:49 WIB.
Deray Jamaludin. --. Teori Belajar Sebagai Pembelajaran. Diakses melalui http://deryjamaluddin.page.tl/Makalah-Teori-Belajar-sebagai-Pembelejaran-PAI.htm pada tanggal 25 November 2014 pukul 19:53 WIB.





[1] Ratna Sari. 2014. Pendekatan dalam Pembelajaran PAI. Diakses dari : http://dianratnasari31.blogspot.com/2014/03/pendekatan-dalam-pembelajaran-pai.html. pada tanggal 25 November 2014 Pukul 19:38 WIb
[2] Djamarah syaiful bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (suatu pendekatan teoritis psikologis). (Jakarta; Rineka Cipta.2005) hal 53
[3] Muhammad Zainudin. 2011. Teori Belajar Menurut Aliran Behavioral. Diakses melalui http://banyubeningku.blogspot.com/2011/03/teori-belajar-menurut-aliran.html. pada tanggal 30 November 2014 Pukul 18:49 WIB.
[4] Deray Jamaludin. --. Teori Belajar Sebagai Pembelajaran. Diakses melalui http://deryjamaluddin.page.tl/Makalah-Teori-Belajar-sebagai-Pembelejaran-PAI.htm pada tanggal 25 November 2014 pukul 19:53 WIB.
[5] Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya. Hal. 196.
[6] Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya. H. 168.
[7] Roziqin,  Muhammad Zainur, 2007, Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola Interkasi Guru-Murid di Era Global, Malang: Averroes Press. Hal. 64.
[8] Opcit., hal. 169.
[9] Sanjaya, Wina, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana. Hal. 115
[10] Syah, Muhibbin, 1999, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal: 106.
[11] Djaali, 2007, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara. Hal: 85
[12] Opcit., Syah.... hal: 109.

[14] Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Gramedia Widasarana Indonesia, 2006), hal. 129. hal. 144-148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar