PENDAHULUAN
Banyak
teori tentang belajar yang telah berkembang mulai abad ke 19 sampai sekarang
ini. Pada awal abad ke-19 teori belajar yang berkembang pesat dan memberi
banyak sumbangan terhadap para ahli psikologi adalah teori belajar tingkah laku
(behaviorisme) yang awal mulanya dikembangkan oleh psikolog Rusia Ivan
Pavlov (tahun 1900-an) dengan teorinya yang dikenal dengan istilah
pengkondisian klasik (classical
conditioning) dan kemudian teori belajar tingkah laku ini dikembangkan
oleh beberapa ahli psikologi yang lain seperti Edward Thorndike, B.F Skinner
dan Gestalt.
Teori
belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat
menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini
adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan
mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penguatan
negatif. Evaluasi atau Penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam
teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah,tetapi instruksi singkat
yang diikuti contoh, baik yang dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
Proses
yang menunjukkan hubungan secara terus-menerus antara respon yang muncul serta
rangsangan yang diberikan dinamakan suatu proses belajar. Dimana dalam makalah
ini akan dibahas tentang salah satu teori belajar, yaitu Operant Conditioning yang dikemukakan oleh Skinner.
Dalam
teori yang dikemukakan oleh Skinner, dia berpendapat bahwa operant conditioning ini merupakan suatu situasi belajar, dimana
suatu respon dibuat lebih kuat, akibat dari pemberian reinforcement secara langsung. Dan dalam pembentukan prilaku ini,
Skinner memiliki prosedur-prosedur tertentu. Dan reinforcement yang diberikan terbagi menjadi 2 macam, yaitu
reinforcement positif dan negatif. Dan perlu diperhatikan waktu dalam
memberikan reinforcement. Dan
sebaiknya dalam pemberian reinforcement, dilakukan secara bervariasi dan
berselang-seling.
Berdasarkan
uraian diatas, maka penulis akan membahas secara lebih dalam mengenai
pendekatan behavioral dan PAI dengan point-point sebagai berikut:
1. Pengertian pendekatan dalam pembelajaran
2. Pengertian Pendekatan Behavioral
3. Beberapa pendekatan belajar dalam Behavioral dan PAI
4. Meningkatkan prilaku yang diharapkan dalam PAI
5. Tindak lanjut pada penelitian dan latihan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendekatan dalam
Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran dapat berarti aturan
pembelajaran yang berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotorik siswa dalam pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran
belajar, Selain itu pendekatan pembelajaran adalah arah suatu kebijaksanaan
yang ditempuh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pengajaran dilihat dari
bagaimana materi disajikan.
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pembelajaran adalah cara yang digunakan oleh guru dalam menyajikan
suatu materi yang memungkinkan siswa belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran.
[1]
Dilihat dari pendekatannya,
pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu:
a.
Pendekatan pembelajaran
yang berorientasi atau berpusat pada siswa
(student centered approach), dimana pada pendekatan jenis
ini guru melakukan pendekatan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berperan aktif dalam proses pembelajaran, dan
b.
Pendekatan pembelajaran
yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered
approach), dimana pada pendekatan jenis ini guru menjadi subjek utama dalam
proses pembelajaran.[2]
B.
Pengertian Pendekatan Behaviorial
Pelopor aliran
behaviorisme ini adalah John Broadus Watson. Melalui studi eksperimental,
Watson menjelaskan konsep kepribadian dengan mempelajari tingkah laku manusia
yang mengacu pada konsep stimulus-respons.[3]
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk
memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena
seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan
perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau
mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional;
behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh
faktor-faktor lingkungan.
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada
tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi
respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku
mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus).
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan
peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku
yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya
bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan
atau reinforcement dari lingkungan.
Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. [4]
Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa
tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah
hasil jelasnya, aliran ini memandang bahwa hakekat belajar adalah perubahan
tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R (stimulus-respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons
tertentu terhadap apa yang datang dari luar individu. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku dari stimulus
yang diterimanya.[5]
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan
teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang
dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi
antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon,
oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement).
Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin
kuat.
C. Beberapa Pendekatan Belajar
Behavioral dan PAI
a. Teori –Teori Aliaran Behaviorilal
Beberapa teori yang
termasuk kategori aliran behaviorisme adalah koneksionisme, pembiasaan klasik (classical conditioning), pembiasaan perilaku respons (operant conditioning).
1.
Koneksionisme
Tokoh paling terkenal
dari teori koneksionisme adalah Edward Lee Thorndike. Koneksionisme merupakan
teori paling awal dari rumpun behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku
manusia tidak lain dari suatu hubungan antara stimulus-respons. Belajar adalah
pembentukan hubungan stimulus respons sebanyak-banyaknya. Siapa yang menguasai
hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya ialah orang yang pandai atau yang
berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons ini dilakukan
melalui ulangan-ulangan.[6]
Secara garis besar,
teori koneksionisme Thorndike dapat dijelaskan dengan satu kesimpulan bahwa
“belajar” dapat terjadi dengan dibentuknya hubungan, atau ikatan, atau
asosiasi, atau koneksi netral yang kuat antara stimulus dan respons. Untuk
dapat mencapai hubungan antara stimulus dan respons ini, perlu adanya kemampuan
untuk memilih respons yang tepat, serta melalui usaha-usaha atau
percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (errors) terlebih
dahulu. Berdasarkan hal ini, Thorndike mengutarakan bila bentuk paling dasar
dari belajar adalah trial and error learning atau selecting-connecting learning dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.[7]
Berkaitan dengan
prinsip atau hukum dalam belajar, Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau
hukum. Pertama, law of readness,
belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan
perbuatan tersebut. Kedua, law of
exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, ulangan. Ketiga, law of effect, belajar akan bersemangat
apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang lebih baik.[8]
2.
Teori Pembiasaan Klasik (Classical Conditioning)
Teori pembiasaan klasik
(classical conditioning) ini
berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov
(1849-1936) sebagaimana telah diuraikan di awal. Seperti halnya dengan
Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa
belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau
pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu.[9]
Berdasarkan eksperimen
dengan menggunakan anjing, Pavlov menyimpulkan bahwa untuk membentuk tingkah
laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan
pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam
pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu. Hal ini
dikarenakan classical conditioning adalah
sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus
sebelum terjadinya refleks tersebut.[10]
Teori ini disebut classical karena yang mengawali
nama teori ini untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di
bidang conditioning (upaya
pembiasaan) serta untuk membedakan dari teori conditioning lainnya.[11]
3.
Teori Pembiasaan Perilaku Respons (Operant Conditioning)
Teori pembiasaan
perilaku respons (operant conditioning)
ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat
berpengaruh di kalangan ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama
Burrhus Frederic Skinner.[12]
Skinner memulai
penemuan teori belajarnya dengan kepercayaannya bahwa prinsip-prinsip kondisioning
klasik hanya sebagian kecil dari perilaku yang bisa dipelajari. Banyak perilaku
manusia adalah operant, bukan responden. Kondisioning klasik hanya
menjelaskan bagaimana perilaku yang ada dipasangkan dengan rangsangan atau
stimulus baru, tetapi tidak menjelaskan bagaimana perilaku operant baru dicapai. Operant adalah sejumlah perilaku
atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat. Tidak
seperti dalam respondent
conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu),
respons dalam operant conditioning terjadi
tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer (perangsang/hadiah).
Reinforcer ini sendiri seseungguhnya adalah stimulus yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak
sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.[13]
Misalnya, jika seseorang telah belajar melakukan sesuatu lalu mendapat hadiah
sebagai reinforcer, maka ia akan menjadi lebih giat dalam belajar.
b. Penerapan Teori
Behavioral untuk Belajar Dalam PAI
1. Koneksionisme
Menurut saya teori
koneksionisme itu cocok bila diterapkan dalam PAI. Sebab dalam koneksionisme,
belajar merupakan pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.
Artinya, dalam belajar PAI hal utama yang paling menentukan adalah adanya
stimulus yang bisa membangkitkan dan membentuk minat siswa untuk mau belajar
PAI, dimana asa puas yang ditimbulakan akan mendorong pembelajaran.
Selain stimulus-respon,
teori ini juga sering disebut dengan “trial and error” yang berarti berani
mencoba tanpa takut salah. Jadi, dalam belajar PAI siswa diharapkan untuk
berani mencoba mempelajari PAI. Sehingga siswa menemukan keberhasilan untuk
mencapai tujuan. Umpanya, dalam mata pelajaran PAI siswa diberi beberapa
pertanyaan dan siswa juga dituntut untuk dapat menjawabnya tapi dengan teori
koneksionisme trial and error siswa diberi kesempatan untuk berani menjawab
pertanyaan yang diajukan tanpa rasa takut salah dalam menjawab dan akan tetap
terus berusaha sehingga ia dapat menjawab pertanyan tersebut dengan sempurna.
2. Operant Conditioning
Dalam penerapanya teori
operant conditioniang juga cocok bagi PAI, sebab dalam teori ini “reward” atau
“reinforcement” dianggap sebagai faktor terpenting dalam proses belajar,
artinya bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor
lingkungan, rangsangan, stimulus). Dilanjutkan bahwa dengan memberikan ganjaran
positif, suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika
diberikan ganjaran negatis suatu perilaku akan dihambat.
Dalam situasi belajar
PAI, hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tidak diinginkan dalam waktu
singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement langsung. Hukuman
menunjukkan apa yang tidakboleh dilakukan oleh murid. Sedangkan reward
menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid. Sebagai contoh; murid yang
tidak menghafalkan pelajaran Qur’an hadits selalu disuruh berdiri didepan
kelasoleh gurunya. Sebaliknya jika ia sudah hafal maka ia disuruh duduk kembali
dan dipuji oleh gurunya. Lama-kelamaan anak itu belajar menghafal setiap
pelajaran Qur’an hadits.
3. Classical Conditioning
Teori classical
conditioning juga cocok bila diterapkan dalam pembelajaran PAI, sebab belajar
erat hubungannya dengan prinsip penguatan kembali. Atau dengan perkataan lain,
ulangan –ulangn dalam hal belajar adalah penting. Sebagai contoh; siswa-siswa
sedang membaca do’a diawal pelajaran (UR) apabila melihat seorang guru hendak
masuk kelas (US) mulanya berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel masuk kelas
(CS) bersama-sam dengan datangnya guru ke kelas (UCS). Setelah kegiatan
berulang-ulang ini selesai, suatu hari suara bel masuk kelas tadi berbunyi
tanpa disertai dengan kedatangan guru ke kelas ternyata siswa-siswa tersebut
tetap membaca do’a juga (CR) meskipun hanya mendengarkan suara bel. Jadi (CS)
akan menghasilkan (CR) apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan
bersama.
D.
Meningkatkan Prilaku yang di Harapkan dalam PAI
Tujuan pendidikan agama
lebih merupakan suatu upaya untuk membangkitkan intuisi agama dan kesiapan
rohani dalam mencapai pengalaman transendental. Dengan demikian tujuan utamanya
bukanlah sekedar mengalihkan pengetahuan dan keterampilan (sebagai isi
pendidikan), melainkan lebih merupakan suatu ikhtiar untuk menggugah fitroh insaniyah (to stir up certain innate powers), sehingga peserta didik bisa menjadi penganut atau pemeluk agama yang taat dan baik (muslim pari-purna).
Sedangkan pendidikan
pada umumnya, bertujuan lebih menitik beratkan pada pemberian pengetahuan
dan ketrampilan khusus dan secara ketat berhubungan dengan pertumbuhan
serta pemilahan areal kerja yang diperlukan dalam masyarakat.
Dalam hal ini dengan
menggunakan pendekatan behavioral baik menggunakan teori konesionisme, teori Classical Condisioning, maupun
menggunakan teori Operant Condisioning bisa meningkatkan prilaku pada anak didik
seperti yang diharapkan dalam PAI, diantaranya dengan melakukan pengembangan
suatu program pengubahan tingkah laku, dengan langkah-langkah dasar seperti:[14]
1)
Mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah
laku yang dapat diubah
2)
Memperoleh suatu gambaran dari tingkah laku tingkat operant
dimana kita mempertimbangkan untuk mengubah
3)
Mengatur situasi belajar atau situasi perlakuan sehingga
tingkah laku yang kita inginkan terjadi
4)
Mengidentifikasi reinforcer
yang potensial
5)
Membentuk dan/atau memperkuat tingkah laku yang diinginkan,
dan jika perlu menggunakan prosedur memperlemah tingkah laku yang tidak tepat
6)
Menyusun catatan dari tingkah laku yang diperketat untuk
menentukan apakah penguatan atau frekuensi dari respons bertambah.
E.
Tindak Lanjut Pada Penelitian dan Latihan
Sebagai tindak lanjut
dari makalah ini, maka penulis menyarankan agar bisa dilakukan penelitian lebih
lanjut guna hasil yang lebih baik, serta diadakannya penyuluhan/pelatihan bagi
semua tenaga kependidikan khususnya guru-guru mengenai pendekatan-pendekatan
yang bisa diterapkan dalam pembelajaran pada semua mata pelajaran (khususnya
mata pelajaran PAI) untuk mendapat hasil belajar dan prilaku/ akhlak yang terbaik bagi anak-anak generasi penerus
bangsa.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian pada bab
sebelumnya, maka dapat penulis tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
v Behaviorisme
merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme
memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan
aspek-aspek mental. Menurut teori ini peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu.
v Beberapa teori yang termasuk kategori aliran
behaviorisme adalah koneksionisme,
pembiasaan klasik (classical conditioning),
pembiasaan perilaku respons (operant
conditioning).
v Dengan menggunakan pendekatan behavioral baik
menggunakan teori konesionisme, teori Classical
Condisioning, maupun menggunakan teori
Operant Condisioning bisa
meningkatkan prilaku pada anak didik seperti yang diharapkan dalam PAI,
diantaranya dengan melakukan pengembangan suatu program pengubahan tingkah
laku, dengan langkah-langkah dasar seperti:
Ø Mendefinisikan
dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang dapat diubah
Ø Memperoleh
suatu gambaran dari tingkah laku tingkat operant dimana kita mempertimbangkan
untuk mengubah
Ø Mengatur
situasi belajar atau situasi perlakuan sehingga tingkah laku yang kita inginkan
terjadi
Ø Mengidentifikasi
reinforcer yang potensial
Ø Membentuk
dan/atau memperkuat tingkah laku yang diinginkan, dan jika perlu menggunakan
prosedur memperlemah tingkah laku yang tidak tepat
Ø Menyusun
catatan dari tingkah laku yang diperketat untuk menentukan apakah penguatan
atau frekuensi dari respons bertambah.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma
Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya
Syah, Muhibbin,
1999, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV Bandung: Remaja
Rosdakarya
Sukmadinata,
Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan,Cet. IV, Bandung:
Remaja Rosdakarya
Roziqin,
Muhammad Zainur, 2007, Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola
Interkasi Guru-Murid di Era Global, Malang: Averroes Press
Sanjaya, Wina,
2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta: Kencana
Djaali,
2007, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara
Internet:
Ratna Sari.
2014. Pendekatan dalam Pembelajaran PAI.
Diakses dari :
http://dianratnasari31.blogspot.com/2014/03/pendekatan-dalam-pembelajaran-pai.html.
pada tanggal 25 November 2014 Pukul 19:38 WIb
Djamarah syaiful
bahri. Guru dan Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif (suatu pendekatan teoritis psikologis). (Jakarta;
Rineka Cipta.2005) hal 53
Muhammad
Zainudin. 2011. Teori Belajar Menurut
Aliran Behavioral. Diakses melalui
http://banyubeningku.blogspot.com/2011/03/teori-belajar-menurut-aliran.html.
pada tanggal 30 November 2014 Pukul 18:49 WIB.
Deray Jamaludin.
--. Teori Belajar Sebagai Pembelajaran.
Diakses melalui
http://deryjamaluddin.page.tl/Makalah-Teori-Belajar-sebagai-Pembelejaran-PAI.htm
pada tanggal 25 November 2014 pukul 19:53 WIB.
[1] Ratna Sari.
2014. Pendekatan dalam Pembelajaran PAI.
Diakses dari :
http://dianratnasari31.blogspot.com/2014/03/pendekatan-dalam-pembelajaran-pai.html.
pada tanggal 25 November 2014 Pukul 19:38 WIb
[2] Djamarah syaiful
bahri. Guru dan Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif (suatu pendekatan teoritis psikologis). (Jakarta;
Rineka Cipta.2005) hal 53
[3] Muhammad Zainudin. 2011. Teori Belajar Menurut Aliran Behavioral.
Diakses melalui http://banyubeningku.blogspot.com/2011/03/teori-belajar-menurut-aliran.html.
pada tanggal 30 November 2014 Pukul 18:49 WIB.
[4] Deray Jamaludin. --. Teori Belajar Sebagai Pembelajaran.
Diakses melalui http://deryjamaluddin.page.tl/Makalah-Teori-Belajar-sebagai-Pembelejaran-PAI.htm
pada tanggal 25 November 2014 pukul 19:53 WIB.
[5] Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya. Hal. 196.
[6] Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan
Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV,
Bandung: Remaja Rosdakarya. H. 168.
[7] Roziqin, Muhammad Zainur, 2007, Moral Pendidikan
di Era Global; Pergeseran Pola Interkasi Guru-Murid di Era Global, Malang: Averroes Press. Hal. 64.
[8] Opcit., hal. 169.
[9] Sanjaya, Wina, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Jakarta: Kencana. Hal.
115
[10] Syah, Muhibbin, 1999, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal: 106.
[11] Djaali, 2007, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara. Hal: 85
[12] Opcit., Syah.... hal: 109.
[14] Sri Esti
Wuryani Djiwandono, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: PT. Gramedia Widasarana Indonesia, 2006), hal. 129.
hal. 144-148.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar