BAB
I
PENDAHULUAN
Mayoritas penganut umat
Islam meyakini bahwa Islam adalah Din (agama)
dan Daulah (Negara). Islam tidak hanya sebagai
sistem teologi semata, tetapi juga sistem politik. Atas dasar keyakinan ini
maka membangun sistem pemerintahan adalah implementasi dari kehendak Ilahi.
Kondisi seperti ini, bagi kebanyakan masyarakat Eropa dan Amerika bisa jadi
merupakan keganjilan, karena dalam pandangan mereka agama hanya berbicara
sebatas pada kesalehan personal seseorang. Islam ternyata memiliki bangunan
khas soal hubungan agama dan politik.
Memang tidak bisa dinafikan
bahwa bahasan mengenai relasi antara Islam dan politik masih menjadi diskursus
yang terus diperdebatkan. Hal demikian bisa dimaklumi karena “teks politik”
dalam Islam menjadi objek yang multitafsir. Pertama-tama, tentu saja karena
bahasan politik (baca: sistem kenegaraan) dalam al-Qur’an, sebagai sumber utama
pengambilan hukum, masih perlu ditafsir ulang. Bahkan ada yang mengatakan,
al-Qur’an tidak berbicara eksplisit tentang sistem politik. Maka dari itu, bahasan
politik masuk dalam kategori ijtihadiy.
Selain karena teks politik
dalam al-Qur’an relatif tidak ada yang menyebutnya secara eksplisit, posisi
Nabi Muhammad sendiri seringkali menjadi bahan perdebatan, apakah beliau
menjadi pemimpin spiritual semata ataukah juga menjadi kepala Negara. Ini
memang menarik, karena mata harus tertuju pada aktivitas Nabi Muhammad di dua
tempatnya berdakwah, Mekkah dan Madinah. Sebagai manusia, secara natural Nabi
Muhammad tentu saja memiliki karakter yang tak hanya secara makhluk spiritual
tetapi juga makhluk politik.
Berkenaan dengan hal
tersebut, maka dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai pendekatan
kajian politik Islam, dengan batasan masalah yang akan dbahas sebagai berikut:
1. Dasar
Pendekatan Kajian Politik Islam
2. Pengertian
Studi Islam dan Politik
3. Teori-Teori
Politik
4. Pandangan
Islam Tentang Politik
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan
Pengkajian Islam, harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
rekan-rekan semua.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Dasar Pendekatan Kajian Politik
Islam
Kajian studi Islam dengan pendekatan secara politik
didasarkan pandangan sebagai berikut:
Pertama, Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran
yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan
manusia. Islam tidak hanya mengatur hubungan yang baik antara manusia dan
Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan yang baik dengan manusia dan dengan alam
semesta. Melalui hubungan baik ini akan tercipta sebuah kehidupan yang
seimbang, tertib, aman, damai, dan harmonis yang selanjutnya menjadi syarat
bagi manusia untuk melakukan berbagai kegiatan yang lainnya.[1] Hal
ini sesuai dengan diutusnya Rasullah Saw. ke dunia adalah sebagai ramat bagi
seluruh alam.
Firman Allah :
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya: “Dan
Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
(QS. Al-Anbiya: 107).[2]
Kedua, ajaran Islam yang berkenaan dengan hubungan
manusia dengan Allah dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam
ilmu tauhid, fikih dan tasawuf. Adapun hubungan manusia dengan manusia dalam
arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu social dan ilmu politik.
Secara spesifik dalam dalam kajian tersebut, yaitu melalui ilmu politik,
manusia selain diperkenalkan tentang cara mendapatkan, mengelola dan
mempertahankan kekuasaan, juga diajarkan tentang hukum dan etika politik.
Ketiga, Islam memiliki ajaran yang selain
berhubungan dengan kewajiban yang bersifat individual yang disebut fardhu ‘ain,
juga berhubungan dengan kewajiban kolektif yang disebut fardhu kifayah. Ajaran
yang bersifat kolektif ini termasuk ajaran yang berkenaan dengan masalah
politik.Dengan ajaran yang bersifat kolektif ini, maka harus di antara anggota
masyarakat yang mengurusi masalah politik dalam rangka mewujudkan situasi
masyarakat yang tertib, aman, damai, harmonis dan sejahtera.
Keempat, di dalam Al Quran selain terdapat ayat-ayat
yang memerintahkan manusia untuk taat kepada pemimmpin, keharusan pemimpin yang
berbuat adil, memutuskan perkara dengan cara musyawarah, melindungi hak-hak
asasi manusia, bersikap jujur, amanah, berani menegakkan kebenaran, cerdas,
sehat jasmani dan rohani. Ini semua yang harus dipelajari oleh umat Islam.
Kelima, saat ini ada keinginan yang kuat dari
seluruh masyarakat dunia untuk mewujudkan keadaan tatanan politik masing-masing
negara yang lebih tertib, aman, damai, harmonis, dan sejahtera, yaitu keadaan
masyarakat yang terbebas dari permusuhan atau peperangan antara satu bangsa
dengan bangsa lain, bebas dari tindakan terorisme, anarkisme dan radikalisme,
bebas dari perbudakan dan eksploitasi, bebas dari pelanggaran hak-hak azasi
manusia. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, masing-masing agama, melalui
pemimpinnya, diwajibkan memberi kontribusinya, termasuk ajaran Islam.[3]
B. Pengertian Studi Islam dan Politik
Studi Islam secara etimologis merupakan
terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah
Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada
spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang
sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar
dan sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara mendalam
tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik
berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara
nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pembahasan sekitar studi Islam banyak dikemukakan
oleh para pemikir Islam belakangan ini. Amin Abdullah, misalnya mengatakan jika
penyelenggaraan dan penyampaian Islamic
Studies atau Dirasah Islamiyah
hanya mendengarkan dakwah keagamaan di dalam kelas, lalu apa bedanya dengan
kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku kuliah?
Merespone sinyalemen tersebut. Menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan
pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah
berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara normativitas
dan historitas.Pada dataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk
dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan pada dataran historitas tampaknya
tidak salah.[4]
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang
mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah
diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat,
sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk berbuat
kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat
Islam dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy),
yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di
kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh
mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia
Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangandan
kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran
agama Islam dalam kehidupan sehari-hari uamat Islam. Nmaun, pada masa
akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan
pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan
umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa bermanfaat
bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa
keemasan Islam dan umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa
pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih cenderung
bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup diri terhadap
pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan rasional.
Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner tersebut,
ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang pada dasarnya
bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan zaman- telah
berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap
sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman. Bahkan
kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan mandek, membeku dan
ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran
objek studi dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.
Politik secara etimology dalam bahasa
Arab disebut Siyasah, yang selanjutnya kata ini kemudian
diterjemahkan menjadi siasat. atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Politics.
Politik itu sendiri berarti cerdik dan bijaksana, yang dalam pembicaraan
sehari-hari kita seakan-akan mengartikan sebagi suatu cara yang
dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi para ahli politik sendiri mengakui
bahwa sangat sulit memberikan definisi untuk ilmu politik.[5]
Politik biasanya diwakili oleh kata al Siyasah dan
daulah, walaupun kata-kat tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan
politik seperti keadilan, musyawarah, pada mualnya bukan diutujukan untuk
masalah politik. Kata Siyasah dijumpai dalam biadang kajian hukum, yaitu ketika
berbicara masalah Imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang
Fiqih Siyasah. Demikian pula kata Daulah pada mulanya dalam al Quran
digunakan untuk kasus penguasaan harta di kalangan orang kaya, yaitu bahwa
dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan
orang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus bergilir dan berputar,
dan tidak hanya dikuasai oleh orang yang kaya (daulatan baina agniya), kata
daulah tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah
dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak
digunakan dalam memutuskan perkara dalam kehidupan, dan kata musyawarah pada
mulanya digunakan pada kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk
disusui oleh perempuan lain yang dalam hal iniperlu dimusyawarahkan.[6]
Namun dalam perkembangan selanjutnya sejarah
menggunakan kata Siyasah dan kata-kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata
tersebut digunakan untuk pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan
pemerintahan serta hal-hal lainnya yang terkait dengannya.
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup
negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang
mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain itu
poilitik juga menyelidiki ide-ide, azas-azas, sejarah pembentukan negara, di
samping menyelidiki hal-hal seperti kelompok elit, kelompok kepentingan, kelompok
penekan, pendapat umum, peranan partai politik, dan keberadaan pemilihan umum.
Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata
polis yang berarti negara kota, dengan politik berarti ada hubungan khusus
antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan,
kewenangan, prilaku pejabat, legalitas kekuasaan dan akhirnya kekuasaan. Tetapi
politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaaan, kekuatan, kekuasaan
pemerintah, pengaturan konflik, yang memjadi konsesus nasional, serta kemudian kekuatan
massa rakyat.
Masalah politik termasuk salah satu bidang studi
yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Hal inin antara lain disebabkan
karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat
yang tertib, aman, aman, damai, sejahtera lahir dan batin dan seterusnya tidak
dapat dilepaskan dari system politik yang diterapkan. Karena demikian
pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang dilakukan
para ahli terhadapnya.
Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S.
Poerwadarminta, politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan
atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan
sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan
(kebiijaksanaaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara
atau terhadap negara lain.[7]
C. Teori-Teori Politik
1.
Plato
Plato hidup dari tahun 427 – 347 SM, beliau menerima
pelajaran filosofis kenegaraan dari gurunya Socrotes dan Pythagoras yang
masing-masing mengajarkan sebagai berikut :
a.
Kebajikan itu berisi pengetahuan tentang
yang baik-baik, oleh karena itu masalahnya adalah bagaimana membangun negara
dan pemerintahannya agar di dalamnya semua orang tertarik pada kebajikan
tersebut dengan demikian pelaksanaan kenegaraan pada agama dan kepercayaan yang
transcendental sifatrnya, rohaniah dan metafisika.
b.
Kebajikan itu abstrak sifatnya tetapi
ilmu pengetahuan yang terwujud di dunia empiris, sekalipun hal itu adalah
pengalaman yang terlihat dan merupakan realita yang dapat ditangkap oleh panca
indra.[8]
Karena kedua pendapat ini tidak bertolak belakang,
Plato tidak merasa kesulitan untuk mencernanya, bahkan menjadi penganut yang
fanatik. Itulah sebabnya paradigm teokratis tetapi tidak selalu menentang azas
rasionalitas. Plato masih tetap dalam bentuk utopia yang mempunyai wewenang dan
perhatian utamanya pada pemerintahan Tuhan, apa yang diringkas oleh wahyu
menjadi peraturan manusia, maka masyarakat yang baik menjadi masyarakat Tuhan
yang mengikuti hukum Tuhan.
Dalam bukunya Republic, Plato mengemukakan postulat
utopia pertama, yang di dalamnya mereka mempunyai kekuatan nalar yang besar,
diberikan kekuasaan terbesar untuk memerintah, dalam buku ini, Plato juga
membicarakan bentuk pemerintahan yang ideal.
Selanjutnya Plato menjelaskan bahwa kebenaran
sebagai realitas yang sesungguhnya, seharusnya mengikuti kenyataan. Jadi jika
kita menafsirkan teori ini, maka terjadinya penindasan, perkosaan, perampokan
dan lain-lain, hal ini seharusnya tidak terjadi.
Dalam benak Plato tersimpan pemikiran yang bersumber
dari pengalaman menyaksikan gurunya Socrates dipaksa minum racun, dia lalu
berkepastian bahwa pemerintah yang berkuasa adalah buruk, karena baginya
gurunya adalah yang paling bijak, jujur dan baik. Dari sinilah keluar
teori-teori besarnya tentang negara ideal.
Paradigma ini kemudian bergeser ke arah yang lebih
rasionalistis, karena timbul pertanyaan-pertanyaan antara lain, apakah
kecerdasan dalam ala ini berasal dari Tuhan? Apakah pengaturan alam raya yang
tertib ini diatur oleh Tuhan? Mengapa Tuhan memisahkan dirinya dari kehidupan?
Mengapa Tuhan menciptakan keburukan?
Plato sendiri sebenarnya sadar bahwa alam pikirannya
ini tidak akan dapat direalisasikan di alam kenyataan politik pemerintahan,
dalam perjalanan masa yang panjang ini hanya seketika saja suatu masyarakat
dapat mempertahankan diri dalam keadaan pemerintahan yang adil,
untuk kemudian setelah itu semakin merosot dan akhirnya runtuh, namun demikian
Plato sudah berusaha mencoba menunda proses keruntuhan itu.
Muridnya sendiri yang bernama Aristoteles sudah berpendapat
bahwa kebenaran itu hanya subjektif sifatnya, sebab itu benar bagi satu pihak
tetapi tidak benar bagi pihak yang lain, karena pendapat dipengaruhi dan
berbeda pada berbagai dimensi ruang dan waktu. Itulah sebabnya Aristoteles
dalam pemikirannya justru menyetujui perbudakan dan merendahkan kaum wanita.
2.
Aristoteles
Aristoteles hidup antara tahun 384 – 322 SM.
(kelahiran Nabi Isa) Dalam suatu system pemerintahan, Aristoteles mendukung
adanya segelintir masyarakat yang dianggap sebagai budak budak belian, karena
sejalan dengan garis hukum alam, dan dia bahkan percaya krendahan martabat
wanita dibandingkan kaum pria, ini berlaku dipengaruhi oleh budaya yang
berkembang saat itu.Pada kesempatan lain, Aristoteteles berpendapat bahwa
kemiskinan adalah bapaknya revolusi atau dia mengatakan bahwa siapa yang sudah
memahami arti memerintah sesame manusia, pasti yakin bahwa nasib suatu imperium
tergantung pada pendidikan dari generasi penerusnya.
Aristoteles tampak semakin sekuler, karena berusaha
memisahkan perenungan kerohanian yang transcendental dengan kehidupan
keduniawian, Tuhan baginya muncul karena kadar intelektual manusia belaka. Jika
alam semesta bermula dari Tuhan, maka awalnya juga dapat diusut dengan
mengetahui Tuhan itu sendiri, tetapi karena kita tidak dapat menjelaskan
akar-akar misterius dari rasionalitas manusia, maka para ahli agama
mengandaikan bahwa mengenal sesuatu yang rasional adalah dengan mengenal Tuhan,
sehingga rasionalitas akan menjadi serba mistis karena mempercampur adukan
antara alam dengan Tuhan.
Penguasa Macedonia Alexander yang Agung, juga pernah
menjadi murid Aristoteles, tetapi kemudian walaupun pernah membiayai kehidupan
Aristoteles, akhirnya menjadi penentang gurunya ini. Untunglah sang Penguasa
lebih dulu meninggal dunia, sedangkan gurunya yang telah melarikan diri. Inilah
perjalanan ilmu negara awal dari kajian filsafat yang dimulai dari pemikiran
teokrasi kemudian rasionalitas.[9]
3.
Jean
Jacques Rousseau
Beliau adalah seorang anti rasionalisme dan
merupakan penyumbang dalam menyampaikan pendapat tentang demokrasi dan
persamaan hak serta derajat manusia. Karena melihat penggunaan teknologi yang
tidak terkendali dia melakukan penentangan terhadap kemajuan teknologi yang
semakin canggih, baginya perkembangan ilmu pengetahuan memang tidak ada
kaitannya dengan perbaikan nilai-nilai luhur dan moral, bahkan menimbulkan
dekadensi dan korupsi yang melawan hati nurani. Dalam bukunya yang terkenal
tentang perjanjian masyarakat (Du
Contract Social). Dia menunjukkan bagaimana pemerintahan negara yang
seharusnya untuk mengupaya tetap bebas secara ilmiah.
4.
Thomas
Hobbes
Dia seorang meterialistis, karena baginya kehidupan
manusia hanya didasari oleh keinginan-keinginan mekanis saja, oleh karena itu
dapat bertabrakan satu sama lain. Jadi karenanya diperlukan pemerintah sebagai
organisasi terbesar dalam negara dan memiliki legitimasi untuk berkuasa,
termasuk kekuasaan untuk mengatur dan mengurusi rakyatnya, yang kemudian harus
dipatuhi sehingga pemerintahan itu sendiri berfungsi.
Karena kehidupan manusia seluruhnya dianggap meteri,
maka jiwa dan ruh baginya juga dimaterikan. Dia memang termasuk penyandang
psikologi social ilmiah. Menurutnya segala kejiwaan dapat dimaterikan seperti
kecemburuan, kebencian, kecintaan, kemarahan dan keinginan untuk damai. Dia
tidak mempercayai alam meta fisik.
Jadi menurut Hobbes, untuk mengatur masyarakat suatu
negara, harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip dan norma-norma yang berlaku
sesuai situasi dan kondisi serta ruang dan waktu. Keberadaan agama dan
peraturan moral yang dibuat manusia terlalu khayal dan mengada-ada. Namun
demikian pemerintah harus mampu menata masyarakat dengan damai, sehingga emosi
dapat diredam. Ketakutan manusia kepada maut adalah karena manusia itu sendiri
gentar menunggu berakhirnya eksistensi dirinya, yaitu mati itu sendiri. Namun
pembicaraanny tidak tuntas, mengapa manusia memiliki rasa dan dari mana
datangnya rasa, dapatkah diciptakan rasa dan dapat pulakah rasa dihilangkan.
Bukunya yang paling terkenal adalah “Leviathan”.
5.
Frederich
Hegel
Dia berpendapat bahwa kehendak negara selama ini
bukan berarti kehendak rakyat secara keseluruhan, sebab masing-masing individu
memiliki beraneka ragam pendapat subjektif sifatnya, tergantung kebutuhan
seseorang. Agar menjadi objektif harus digabung, hanya saja yang paling sering
tampak di suatu negara adalah pendapat seseorang atau sekelompok kecil orang
tertentu, yang kemudian dianggap pendapat missal, oleh karena itu terkadang
bertentangan dengan pendapat seseorang.
Hal tersebut dapat diterima karena melihat bagaimana
sulitnya masyarakat menerima keputusan pungutan pajak yang bertikai secara
tidak adil antara peruntungan si miskin dan peruntungan si kaya, bagaimana
sulitnya masyarakat menerima wajib militer di berbagai negeri dan bagaimana
sulitnya masyarakat berbagai keputusan hukum lainnya. Namun bagaimanapun mereka
hasrus menerimanya suka atau tidak suka, karena negaralah yang berwenang
memiliki hak memaksakan dalam kehidupan berpemerintahan.
6.
Niccollo
Machiavelli
Bagi Machiavelli yang penting dalam politik
pemerintahan negara adalah kekuasaan, dia menghalalkan segala cara untuk tetap
berkuasa. Jadi yang dianjurkan bukan bagaimana melaksanakan etika bernegara
yang baik tetapi bagaimana seseorang atau kelompok orang dapat merebut
kekuasaan dan mempertahankannya.
Praktek kekuasaan yang nyata, menurut Machiavelli
tidak ada hubungannya antara kekuasaan tersebut dengan etika bernegara, karena
negara itu menurutnnya bersifat sekuler, termasuk di dalamnya berbagai
perebutan kekuasaan, sedangkan etika yang berkaitan dengan norma yang berkenaan
dengan peraturan Tuhan yang transcendental sifatnya, yaitu dianggap
berorientasi kepada dunia ghaib.
7.
George
Jellineck
George Jellineck adalah bapak ilmu negara
karena orang pertama yang mengusulkan negara sebagai disiplin ilmu pengetahuan
yang berdiri sendiri, namun posisi ilmu negara tetap berkaitan dengan ilmu
hukum. Pembagian Jellineck adalah bahwa ilmu negara bagian dari ilmu-ilmu
kenegaraan sebagai induk tertinggi, yaitu negara dalam arti luas termasuk
berbagai ilmu politik, hukum tata negara, pemerintahan dan administrasi negara.
Induknya ilmu-ilmu kenegaraan dibagi atas ilmu negara dalam arti sempit yaitu
yang hanya membahas timbul tenggelamnya negara di satu pihak
sedangkan di pihak lain, ilmu-ilmu pengetahuan hukum tetapi yang
berkenaan dengan negara seperti hukum tata negara, hukum administrasi negara
dan hukum antar negara.Di samping itu Jellineck juga menulis tentang ilmu
pemerintahan.
8.
Montesquieu
Montesquieu lahir pada tahun 1689 M. yaitu ketika
John Lock sudah berumur 57 tahun, jadi ia sangat dipengaruhi oleh pendahulunya
itu, John Lock berpendapat bahwa kekuasaan dibagi menjadi Eksekutif, Legislatif
dan Federatif dengan tanpa pembentukan Yudikatif yang terpisah, karena fungsi
para hakim bagaimanapun tetap akan dipengaruhi Eksekutif (pemerintah).Sedangkan
Montesquieu berpendapat harus tetap dipisahkan, dengan alasan karena
ia sendiri adalah seorang Hakim dan penulis buku-buku polik, hukum
dan pemerintahan.Teorinya tentang konstitusi ideal termuat dalam
bukunya L’Esprit des Lois yang berarti “ Jiwa Undang-Undang” . Teori
inilah yang kemudian oleh Imannuel Kant diistilahkan dengan nama Trias
Politika.
Maksud Montesquieu apabila ketiga kekuasaan tersebut
dipisahkan secara drastic maka salah satunya tidak akan terlalu kuat dan
menghancurkan kebebasan rakyat. Oleh sebab itu sekarang antara lembaga
kekuasaan tersebut saling mengawasi (checking power with power).
9.
Al-Farabi
Al-Farabi dilahirkan di Khurasan sekitar 258 H/870
M.,dan wafat pada tahun 339 H./870 M. di Damascus. Dialah yang meratakan jalan
bagi dan menyiapkan permulaan yang otoritatif untuk terjadinya integrasi antara
filsafat Yunani dan pelbagai cabangnya di satu pihak dan filsafat Islam di
pihak lain. Bagi Al-Farabi, usahanya itu tidak hanya merupakan sebuah program
ambisius dalam pembaruan politik yang bertujuan membangun kembali fondasi
politik sebuah masyarakat religiu. Ide-idenya jelas sangat menarik, terlepas
dari fakta bahwa di tidak memiliki pengaruh besar terhadap praktik politik atau
pemerintahan pada zamannya. Meski demikian, pengaruhnya terhadap pemikir yang
datang setelahnya tidak dapat dibantah.
Al-Farabi memulai dengan pernyataan mengenai
pentingnya sebuah asosiasi politik. Pemikiran politiknya berkaitan dengan
tujuan utama kehidupan manusia dan metode pencapaian tujuan tersebut.
Menurutnya, tujuan akhir dari usaha manusia ialah kebahagiaan. Dia percaya
bahwa negara adalah alat (instrument) yang tepat untuk mencapai kebahagiaan dan
kesempurnaan sejati itu. Dengan kata lain, manusia membutuhkan asosiasi
politik, yaitu dalam bentuk sebuah negara-kota yang dipimpin oleh raja-filosof
yang diidentifikasi sebagai pembuat hukum dan imam agar bertahan dan berjuang
mewujudkan kesempurnaan. Lebih jauh, manusia tidak bisa menyediakan untuk diri
mereka kebutuhan-kebutuhan hidup atau apa saja yang mereka butuhkan dalam
rangka mencapai kesempurnaan tanpa bantuan orang lain. Dalam karyanya Tahsil
al-Sa’adah, dia menjelaskan jalan hidup yang harus dilalui oleh manusia untuk
memdapatkan kesempurnaan, dan mengartikan kebahagiaan sebagai barang (harta)
yang tertinggi yang dicari manusia untuk kepentingan mereka. Lebih lanjut ia
mendiskusikan tentang kualitas penguasa sempurna (filosof-imam). Dia harus
memiliki kesempurnaan rasional (intelek) dan kemampuan imaginasi (intuisi).[10]
10. Al Mawardi
Al Mawardi cenderung lebih bersifat realistik dan
berorientasi pada masalah konstitusi kenegaraan, sementara Al Farabi bersifat
idealistic dan mengutamakan pemikiran politiknya tentang kualitas pemimpin
(kepala negara). Bagi Al Mawardi, agar terciptanya kerja sama yang baik antar
warga masyarakat maka institusi negara menjadi sangat dibutuhkan.
Penyelanggaraan pemerintahan (kenegaraan) harus melalui apa yang disebut dengan
“kontrak social” yakni kooperasi antara kepala negara (eksekutif) dengan
kelompok ahlul hal wal aqdi (legislative). Keapala negara merupakan khalifah
kenabian. Beberapa factor pendukung utama negara adalah: organisasi, penguasa,
nilai keadilan, stabilitas, basis ekonomi serta system pembangunan yang
berkelanjutan.
Sistem pemerintahan ala Al-Mawardi bersifat
realistic, karena berangkat dari masyarakat itu sendiri. Al-Mawardi juga
menekankan pentingnya suku Quraisy sebagai prasyarat seorang pemimpin negara.
Yang dimaksud disini tentu karena waktu itu suku Quraisy dianggap mewakili
golongan elite social yang mahir dalam memimpin di samping kharismatik. Bagi Al-Mawardi,
konsep suksesi haruslah melalui dewan legistlatif (ahlul ikhtiar). Menurut
Al-Mawardi ada 7 syarat kepala negara yang laik memimpin negara. Bentuk
operasional suksesi bisa juga melalui cara wasiat atau penunjukan. Tampakknya
Al-Mawardi tidak memastikan secara mutlak bagaimana konsep suksesi itu
dilaksanakan. Tergantung situasi dan kondisi. Jadi suksesi bisa dilakukan
secara pemilihan umum (pemilu), team formatur maupun penunjukan secara
langsung.
Al-Mawardi ternyata telah terlebih dulu
memperkenalkan teori kontrak social pada awal abad XI M. dan baru lima abad
kemudian mulai bermunculan teori kontrak social di Barat, seperti Hubert
Languet (1519-1581). Thomas Hobbes (1588-1679 M.), John Locke (1632-1704 M.)
dan Jean Jaques Rousseau (1712-1778 M.). Al-Mawardi juga merupakan satu-satunya
pemikir politik Islam sampai abad pertengahan yang berpendapat bahwa kepala
negara dapat digantikan kalau ternyata tidak mampu lagi melaksanakan tugas
dengan baik disebabkan oleh persoalan moral, misalnya, maupun masalah-masalah
lainnya. Namun Al-Mawardi belum memberikan system atau mekanisme yang jelas
tentang itu.[11]
11. Al-Ghozali
Pemikiran politik Al Ghozali memiliki khas
tersendiri dibanding Al-Farabi maupun Al-Mawardi, dimana Al-Ghozali menekankan
soal profesi kerja yakni pertanian, pemintalan (tenun), pembangunan dan
politik. Tentang profesi politik merupakan profesi yang terbaik, menurut
Al-Ghozali tentunya sesuai dengan kondisi waktu itu, Ghozali memperkenalkan
empat departemen pokok dari profesi politik ini yaitu bidang
agraria, Hankam, kehakiman dan kejaksaan.
Menurut Al Ghozali, kehidupan dunia ini merupakan
ladang akhirat.Maka negara butuh seorang pemimpin yang dapat menjamin
terselenggaranya berbagai profesi rakyat ( soal lapangan pekerjaan).Bagi Al
Ghozali, agama dan negara (penguasa) ibarat fondasi maupun pelindung). Agama
dan negara itu menyatu, tidak tersekularistis. Agama dipimpin oleh Nabi,
sedangkan negara dipimpin oleh raja. Kedudukannya merupakan manusia pilihan
Tuhan. Al Ghozali mencetuskan bahwa sultan menrupakan bayangan Tuhan di muka
bumi. Konsep atau pemikiran politik Al Ghozali ini cenderung berwatak
teokratis. sedangkan Al Mawardi bercorak demokratis (rakyat).
Al-Ghozali menentukan tujuh syarat seorang kepala
Negara, dan wanita tidak berhak untuk menjabat sebagai kepala negara
berdasarkan hadits Nabi.Ada inidikasi bahwa ketika hadits dikeluarkan, derajat
wanita dalam masyarakat masih di bawah derajat laki-laki. Hanya lelaki yang
dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara.[12]
Di dunia Barat, al-Ghozali dikenal dengan nama Abu
Hamet dan Algazel. sedang di dunia Islam ia diberi gelar Hujjatul Islam.[13]
12. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah mengemukan pendapat politiknya
terutama yang berkaitan dengan teori khilafah. Ia mengatakan bahwa konsep
khilafah sebagaimana pemahaman di masa Abbasiyah bukan bersumber dari al Qur’an
dan al Hadits. Pemahaman konsep khilafah di masa klasik (awal Islam lebih ideal
ketimbang masa Abbasiyah). Sikap Ibnu Taimiyah lebih cenderung dinilai bahwa
pemikiran politiknya lebih dekat dengan kelompok Khawarij. Menurut Ibnu
Taimiyah, konsep negara, tidak ada dalam Al Qur’an, yang ada hanya unsure-unsur
negara itu sendiri seperti, keadilan, persaudaraan, pertahanan, kedamaian,
kepatuhan dan lain-lain.
Ibnu Taimiyah tidak mengakui adanya konsep negara
tunggal seluruh dunia Islam, ini sangat utopis, Dengan demikian Ia tidak
mengakui secara implicit, istilah negara Islam, atau sistem khilafah
negara-negara Islam. Baginya yang penting setiap negara, tetap sebagai
penyelenggara syariah.Konsepsi Islam Ibnu Taimiyah mirip bentuk nomokrasi, Ia
menyatakan Islam bukan Monarki, aristokrasi, demokrasi, Ibnu
Taimiyah tampaknya bergeser dari pemikiran khilafah ke system pemerintahan
modern yang lebih fragmatis, fungsional, dan rasional. Sungguhpun demikian,
secara tekstual, beliau identik dengan Al Ghozali dalam hal kepala
negara, dimana eksistensi kepala negara itu diperlukan bukan saja sekedar
menjamin keselamatan jiwa dan harta rakyat maupun telah terpenuhi kebutuhan
bidang material tetapi lebih dari itu untuk menjami berlakunya
syariat.
13. Ibnu Khaldun
Beliau lahir tahun 1332 M. dan wafat tahun 1406 M.
Ia adatlah seorang muslim yang taat oleh karena itu tulisan-tulisannya
dipengaruhi oleh Al Qur’an dan Al Hadits yang diyakini sebagai sumber kebenaran
itu sendiri.
Dalam bukunya yang sangat terkenal yaitu “Al
Muqaddimah”, beliau menulis antara lain bahwa kerajaan dan dinasti hanya bisa
ditegakkan atas bantuan solidaritas rakyat, karena kemenangan terdapat di pihak
yang memiliki solidaritas lebih kuat dan yang para anggotanya lebih sanggup
berjuang dan bersedia mati demi kepentingan bersama.
Kedudukan raja adalah suatu kedudukan terhormat dan
diperebutkan, karena memberikan kepada orang yang memegang kedudukan itu,
segala kekayaan duniawi dan juga kepuasan lahir dan batin. Karena itu menjadi
sasaran perebutan dan jarang sekali dilepaskan kekuasaan dengan suka rela,
sebaliknya selalu di bawah paksaan. Perebutan membawa kepada perjuangan dan
peperangan serta runtuhnya singgasana-singgasana, semuanya itu tidak dapat
terjadi kalau tidak dengan solidaritas social.
Selanjutnya, Ibnu Khaldun juga menulis bahwa apabila
negara sudah berdiri dengan tegak, negara tersebut dapat meninggalkan
solidaritas social, karena negara yang baru didirikan hanya meimiliki kepatuhan
rakyat dengan bantuan banyak paksaan dan kekerasan, walaupun rakyat sendiri
belum membiasakan diri dengan kekuasaan yang baru dan asing tersebut.
Dalam penjabaran etika bernenegara, Ibnu
Khaldun sangat berpatokan kepada prilaku kehidupan Nabi Muhammad Saw. yaitu
sebagai Nabi dan Rasul serta selaku kepala pemerintahan dan kepala negara
beliau tegas dalam memburu dekadensi moral, tetapi dalam menghadapi yatim piatu
dan orang tua jompo, beliau sangat berbelas kasih, karena Nabi itu sendiri
diutus untuk menyempurnakan budi pekerti, termasuk dalam etika bernegara.[14]
14. Taqiyuddin An Nabani
Taqiyuddin An Nabani menolak demokratisasi dalam
keberadaan negara karena pada berbagai kesempatan mengutamakan voting dengan
alasan bila dilakukan pada daerah pemilihan lokalisasi pelacuran, maka sudah
barang tentu tidak menutup kemungkinan yang terpilih adalah germo sebagai
pemimpin dan wakil mereka karena suara terbanyaknya adalah pelacur.Selain itu
kajian filosofis terhadap Islam juga sangat ditolak, karena merupakan pemikiran
Yunani yang secular sehingga pada akhirnya akan meniadakan eksistensi Tuhan.
Taqiyuddin An Nabani adalah pendiri Hizbut Tahrir,
yang mengkomandokan seluruh anggota partainya untuk tidak berkenan ikut
pemiihan umum di negara manapun kecuali pemilihan umum untuk pemilihan khalifah
atau legislative yang bersendikan syariat Islam, keberadaan negara republic dan
negara kerajaan bukanlah tujuan mereka karena bertentangan dengan syariat
Islam.
Negara Islam yang mereka dambakan adalah system
kekhalifahan yang mengatur dunia dan akherat tanpa terpisah sehingga pemimpin
Beragama sekaligus menjadi pemimpin
pemerintahan Sebagaimana layaknya kekhalifahan mulai dari Khalifah
Khulafa Al Rasyidin sesudah Rasulullah Saw. ,kekhalifahan Umayah, kekhalifahan
Abbasiyah sampai pada kekhalifahan Ottoman yang terakhir dibubarkan oleh
Mustafa Kemal Attaturk di Turki pada tahun 1924. Tetapi bukan berarti
kekahlifahan akan lahir kembali di Turki, negara manapun boleh mempelopori dan
setelah memenuhi syarat syariat Islam, mereka akan membaiat pemimpinnya.
15. Hasan Al Banna
Pada tahun 1906 Imam Al Banna lahir di kota
Mahmudiyah dekat Iskandariyah. Beliau cukup lama tinggal di Ismailiyah,
sehingga disinilah beliau untuk pertama kali mendirikan kantor Ikhwanul
Muslimin, dari tempat inilah Ikhwanul Muslimin menyebar ke kota kairo bahkan
seluruh negeri Mesir.
Bagi Ikhwanul Muslimin, partai politik apapun dapat
berdiri dengan nuansa budaya daerah dan negara masing-masing, namun di sisi
lain harus berpedoman dengan Qur’an dan Hadits. Di Malaysia ide seperti ini
disambut oleh Anwar Ibrahim sedangkan di Indonesia, adalah Partai Keadilan
Sejahtera yang pikirannya mengacu kepada pada ajaran Hasan Al Banna, sejarah
membuktikan bahwa partai ini relative paling jujur dibanding dengan partai yang
lain.
Baik pemilihan umum tahun 1999 maupun 2004 partai
ini sempat diminati oleh para kaum muda yang utamanya adalah mahasiswa, karena
dakwahnya melibatkan kampus, sayang pada pemilihan umum pertama pasca reformasi
partai ini tidak memenuhi syarat untuk jumlah pemilih yang disyaratkan sehingga
bergabung bersama Partai Amanat Nasional dan pada pmilihan umum berikutnya
partai yang semula bernama Partai Keadilan berganti nama menjadi Partai
Keadilah Sejahtera, dan hasilnya cukup mengejutkan, karena naik drastic dalam
pengumpulan suara pemilih.
Karena dianggap akan membahayakan pemerintah Negara
Kesatuan Republik Mesir dan menolak perdamaian dengan Israel, Hasan Al Banna
akhirnya dibunuh intel Mossad Yahudi, setelah doberondong peluru berjam-jam,
jenazah beliau tidak ada yang mengurusi, akhirnya beliau gugur sebagai syuhada.
D. Pandangan Islam Tentang Politik
Di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang
melihat hubungan masalah politik dengan agama. Hal ini antara lain disebabkan
karena pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri.
Kuntowijoyo misalnya mengatakan: “Banyak orang, bahkan pemeluk agama Islam itu
sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi sebuah komunitas
(umat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan
tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya
menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan
kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan
mampu melakukan aksi bersama”.[15]
Pernyataan tersebut selanjutnya dijelaskan oleh
Kuntowijoyo secara meyakinkan dalam bukunya itu, bahwa Islam memiliki konsep
tentang politik.
Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik
selanjutnya dapat diikuti darai uraian yang diberikan Harun Nasution dalam
bukunya Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya Jilid II. Dalam bukunya beliau
menegaskan bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut
sejarah, bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.[16]
Saat Nabi Muhammad Saw. berada di Madinah, beliau
tidak hanya mempunyai sifat sebagai Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat
sebagai kepala negara. Dan sebagai kepala negara, setelah beliau wafat mesti
diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Para
peneliti sejarah politik ada yang mengatagorikan bahwa corak politik yang
diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. adalah bercorak teo-demokratis, yaitu pola
pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap persoalan terlebih dahulu
melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan. Hal ini
dimungkinkan karena pada masa Nabi Muhammad Saw. masih dalam proses turunnya
wahyu.
Era Rasulullah Saw. mencerminkan persatuan, usaha,
dan pendirian bangunan umat serta menampilkan ruh (spirit) yang mewarnai
kehidupan politik.dan mewujudkan replica bangunan masyarakat yang ideal untuk
diteladani dan ditiru generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, pemikiran
teoritis saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang
ada. Yang belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian belum lagi era
tersebut berakhir, sudah muncul factor-faktor fundamental yang niscaya mendorong
timbulnya pemikiran ini, dan membentuk teori-teori secara lengkap. Di antara
factor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat system social yang
didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berfikir
untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci
detail system ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa
segi formatnya.[17]
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw. dan kaum
mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah, jika dilihat dari segi praksis
dan diukur dengan variable-variabel politik di era modern tidak disangsikan
lagi dapat dikatakan bahwa system itu adalah system politik par excellence.
Dari nama yang dipilih Nabi Saw. bagi kota hijranya itu menunjukkan rencana
Nabi Saw. dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan
masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas politik,
yaitu sebuah negara.[18] Dalam
waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa system itu adalah
system relegius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan
fundamental maknawi tempat system itu berpijak.
Setelah Rasululullah Saw. wafat, secara
berturut-turut pemerintahan negara dipegang oleh Abu Bakar, kemudian oleh Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Corak pemerintahan yang
dipraktikkan oleh para khalifah yang empat ini bebeda dengan yang
dipraktikkan di zaman Nabi Muhammad Saw.Pada zaman khalifah yang
empat ini, bercorak pemerintahan aristocrat demokratik, yaitu system
pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dengan cara
musyawarah yang para anggotanya terdiri dari kalangan aristocrat.
Bahkan dalam pemilihan khalifah pun dilakukan secara
musyawarah misalnya, Ali bin Abi Thalib adalah saudara Nabi Muhammad
Saw.dan Abu Bakar adalah sahabat yang sangat dekat dengan beliau, semuanya sama
sekali berarti yang satu lebih berhak atas kekhalifahan daripada yang lain.
Sebab di atas semuanya itu masalah kekhilafahan memerlukan adanya musyawarah. Jadi
sekalipun Rasulullah Saw. telah menyebut Ali sebagai saudara, menyebut Abu
Bakar sebagai shaddiq (teman atau sahabat) dan menghargai Umar bin Khattab dan
Utsman bin Affan sebagai menantu beliau, namun semuanya itu tidak berarti
keharusan mereka dibaiat sebagai khalifah, karena prinsip musyawarah wajib
dilaksanakan oleh kaum muslimin dalam menghadapi urusan-urusan keduniaan.[19] Namun
ironi bahwa bibit perpecahan umat disebutkan terjadi pada masa Utsman bin
Affan dan mencapai puncaknya di zaman khalifah Ali bin Abi Thalib.
Sebab-sebabnya antara lain adalah, pemerintah Utsman bin Affan sudah kurang
lurus. Politik nepotisme yang diterapkan di zaman ini menimbulkan reaksi yang
tidak menguntungkan kedudukannya.
Selanjutnya setelah Utsman wafat, Ali bin Abi Thalib
tampil menggantikannya. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka
yang ingin pula menjadi khalifah, tertuma Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang
mendapat dukungan dari Aisyah, tantangan yang datang dari Muawiyah Gubernur
Damaskus, dan selanjutnya membawa kepada terjadinya peperangan yang
diselesaikan dengan Tahkim (arbitrase) yang secara politik dan diplomatic
mengalahkan pihak Ali. Keadaan ini kemudian memicu ktidakpuasan sebagian
pengikutnya dan mereka keluar dari barisan Ali dan membentuk aliran Syiah,
sedangkan mayoritas lainnya menamakan dirinya sebagai kaum suni. Pengelompokan
umat semacam ini terus berlangsung sampai sekarang dan kemudian berpengaruh
terhadap corak ajaran agama Islam.[20]
Dengan demikian, menurut DR. Dhiauddin Rais dalam
bukunya Teori Politik Islam (Terj.) bahwa ia mengatakan, peristiwa-peristiwa
yang berentetan ini telah menyingkap adanya tiga partai :partai kerajaan
monarki, partai Muhakkimah atau Khawarij yang mewakili karakter Arab Badui yang
suka blak-blakan, dan partai Syiah yang ada di seputar Ali dan anak-anaknya.
Dan kontradiksi yang terjadi masing-masing, serta relasi-relasi yang
bermacam-macam yang tumbuh di antara mereka, itulah yang berperan bersama dalam
sejarah Dinasti Umawiyyah, sampai akhir abad pertama hijriyah, minimal.[21]
Adapun pandangan Islam tentang politik dapat
dipahami dari ayat-ayat Al Quran dan Hadits berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS: Annisa: 59)
È@è% ¢Oßg¯=9$# y7Î=»tB Å7ù=ßJø9$# ÎA÷sè? ù=ßJø9$# `tB âä!$t±n@ äíÍ\s?ur ù=ßJø9$# `£JÏB âä!$t±n@ Ïèè?ur `tB âä!$t±n@ AÉè?ur `tB âä!$t±n@ ( x8ÏuÎ/ çöyø9$# ( y7¨RÎ) 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇËÏÈ
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai
kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (QS. Ali-Imran:26)
* ÏÎ)ur #n?tFö/$# zO¿Ïdºtö/Î) ¼çm/u ;M»uKÎ=s3Î/ £`ßg£Js?r'sù ( tA$s% ÎoTÎ) y7è=Ïæ%y` Ĩ$¨Y=Ï9 $YB$tBÎ) ( tA$s% `ÏBur ÓÉLÍhè ( tA$s% w ãA$uZt Ïôgtã tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÊËÍÈ
Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),
lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya
mohon juga) dari keturunanku Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak
mengenai orang yang zalim".
Hadits
Nabi Muhammad Saw. berbunyi:
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته. (رواه بخاري و مسلم)
“Setiap kalian
adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari beberapa ayat tersebut dijumpai berbagai
isltilah yang berkaitan dengan pemimpin, yaitu ulil amri (pemegang kekuasaan),
khalifah (penguasa), al-Mulk (raja), wali (teman/pelindung), imam dan rain
(pemimpin). Menurut Munawir Sadzali ayat-ayat ini mengajarkan tentang kedudukan
manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam
kehidupan bermasyarakat, seperti prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan
kepada pemimpin, keadilan, persamaan dan kebebasan beragama.[22]
Selain itu, ayat-ayat dan hadits tersebut
menunjukkan bahwa Islam menganut politik yang fleksibel, yakni system politik
yang dapata menerima berbagai bentuk system pemerintahan, seperti kerajaan
(monarki), kesultanan, republic Islam, parlementer, gabungan antara parlementer
dan kerajaan. Saudi Arabia dan Brunei Darussalam menggunakan bentuk monarki
atau kerajaan; Pakistan dan Iran, misalnya menggunakan bentuk republic negara
Islam; Malaysia menggunakan gabungan antara kerajaan dan parlementer; dan
Indonesia menggunakan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, namun
memberikan hak dan melindungi pada setiap rakyatnya untuk memeluk,
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing (Islam,
Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghuchu).
Dengan demikian, Islam tidak sepenuhnya sejalan
dengan pendapat Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, syekh Muhammad Ridha, dan
al-Maududi yang menyatakan bahwa system ketatanegaraan atau politik Islam yang
harus diteladani adalah system yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw.
dan oleh para al-Khulafaur Rasyidin.
Islam juga menolak pendirian Ali Abd. al-Raziq dan
Thaha Husein yang mengatakan, bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat,
yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi
Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya,
dengan tugas yang tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia
dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan
mendirikan atau mengepalai satu negara. Islam tidak sejalan atau bertolak
belakang dengan pendapat serupa ini.
Dalam hal pandangan politik, Islam membenarkan
pendapat Mohammad Husein Haikal yang berpendirian, bahwa dalam Islam tidak
terdapat system ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika bagi
kehidupan ketatanegaraan.[23]
Islam memberi keleluasan terhadap manusia selaku
khalifah di muka bumi ini, yaitu manusia mengemban amanat Allah untuk mengatur
dan membuat rasa aman di muka bumi ini.Oleh karena itu supaya tidak terjadi
pertumpahan darah dan perusakan di alam dunia ini, maka manusia baik
secara individu atau kelompok memilih orang-orang yang terbaik untuk memerintah
dan mengatur kondisi masyarakat atau negara, agar tercapai tujuan kedamaian dan
keamanan di masyarakat (negara). Islam tidak memberi atau memaparkan bentuk pemerintahan
yang khusus, melainkan memberikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan
dalam sebuah pembentukan negara (politik).Seperti: prinsip keadilan,
musyawarah, persamaan, ketaatan kepada pemimpin, konsultasi dan kebebasan dalam
beragama.
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan
paparan tersebut, dapat dikemukakan catatan analisis sebagai penutup sebagai
berikut:
1.
Baik secara normatif (berdasarkan al
Quran dan al Sunah) maupun secara historis (praktik kehidupan dalam
sejarah) Islam memiliki perhatian yang besar terhadap masalah politik.
Perhatian ini ditujukan dalam rangka menciptakan keadaan masyarakat yang aman,
tertib, damai, harmonis, dan sejahtera lahir dan batin
2.
Secara fakta sejarah bahwa kehidupan
politik sejak para khulafaur rasyidin yang empat terutama khalifah yang ke tiga
daan keempat memberikan pengaruh terhadap perbedaan yang kuat dalam masalah
teologi Islam.
3.
Di dalam Islam terdapat berbagai istilah
yang berkaitan dengan masalah politik antara lain kata-kata pemimpin,
pelindung, penguasa, pemegang kekuasaan, pemimpin keagamaan, dan pemimpin dalam
arti luas. Adanya berbagai istilah tersebut menunjukkan, bahwa Islam menetapkan
sebuah bentuk struktur atau system politik tertentu untuk digunakan oleh
seluruh dunia, melainkan menganut paham yang lebih fleksibel, akomodatif, dan
sesuai keadaan masyarakat. Islam lebih mementingkan moral, etika dan spiritual
politik.
4.
Fakta sejarah, membuktikan dengan jelas
bahwa Islam tidak menganut system ketatanegaraan tertentu. Islam sama sekali
tidak mempersoalkan bentuk atau system ketatanegaraan tersebut, Hal yang
demikian ditempuh, karena jika Islam menetapkan system ketatanegaraan tertentu,
dan system tersebut tidak cocok bagi masyarakat Islam di suatu negara tertentu,
maka berarti Islam telah mempersulit umatnya. Keadaan ini tidak ditempuh oleh
Islam, karena tidak sejalan dengan prinsip Islam yang fleksibel, sesuai dengan
zaman dan tempat, tidak menyusahkan orang dan seterusnya sebagaimana telah
tampak jelas dalam karakteristik ajaran Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Agama, Departemen, Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al Quran, Al Quran dan
Terjemahannya, (Jakarta: PT
Bumi Restu 1977)
Al Husaini, Al Hamid, Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad Saw.
Sejak Sebelum
Diutus Menjadi
Rasul, (Bandung: Pustaka Hidayah,2000), cet. I,
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Islam,(Jakarta:Grafindo
Persada,1996),Cet. ke 1.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam,(Bandung:Mizan,1997),Cet I,
Mufid, Nur
& Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus
Sulthaniyah Al Mawardi, (Surabaya: Pustaka Progressif,2000),
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin
Politik Islam, (Jakarta: Penerbit
Gaya Media Pratama,2001), Cet. I,
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid
II, (Jakarta:UI Press,1979), cet I,
Nata ,Abudin, Metodologi Studi Islam , ed. rev. (Jakarta,:Rajawali Pers,
2011)Cet. ke 18
Nata,Abudin, Studi Islam Komprehensif,edisi I cet I, (Jakarta :Kencana, 2011)
Rais,Muhammad Dhiauddin, Teori Politik Islam,
Terj. (Jakarta: Gema Insani Press,2001), cet. I.
Syafiie,
Inu Kencana. Pengantar Ilmu Politik,
(Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2009)
[1] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif,edisi I cet I, (Jakarta :Kencana,
2011) hlm. 447.
[2] Departemen Agama Proyek
Pengadaan Kitab Suci Al Quran, Al
Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: PT Bumi Restu 1977) hlm. 508
[3] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, Op cit., hlm.
448
[4] Abudin
Nata, Metodologi Studi Islam
, ed. rev. (Jakarta,:Rajawali Pers, 2011)Cet. ke 18, hlm.150.
[5] Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung:
Pustaka Reka Cipta, 2009) cet. I, hlm.57.
[6] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Op cit, hlm 316
– 317.
[7] Ibid, hlm.316.
[8] Inu Kencana Syafiie,Pengantar Ilmu…., hlm. 95-96
[9] Inu Kencana Syafiie,Pengantar Ilmu…., hlm.96-97
[10] Nur Mufid & Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al Mawardi,
(Surabaya: Pustaka Progressif,2000),hlm.77- 79
[11] Muhammad Azhar, Filasafat Politik, (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 1996), Cet. I, hlm,179-180
[12] Ibid, hlm. 181
[13] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif…, hlm.301
[14] Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu…., hlm.98
[15] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung:Mizan,1997),Cet I,hlm. 27.
[16] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid
II, (Jakarta:UI Press,1979), cet I, hlm. 92.
[17] Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam,
Terj. (Jakarta: Gema Insani Press,2001), cet. I, hlm. 4.
[18] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin
Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya MediaPratama, 2001), Cet. I,
hlm. vii.
[19] Al Hamid Al
Husaini, Membangun Peradaban:
Sejarah Muhammad Saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Rasul, (Bandung: Pustaka
Hidayah,2000), cet. I, hlm. 972.
[20] Abudin Nata, Metodologi Studi….,hlm.319.
[21] Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik ….,hlm.37.
[22] Ibid., hlm.455-456.
[23] Ibid,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar