Sabtu, 18 April 2015

MAKALAH PASCA PENDEKATAN KAJIAN POLITIK ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
Mayoritas penganut umat Islam meyakini bahwa Islam adalah Din (agama) dan Daulah (Negara). Islam tidak hanya sebagai sistem teologi semata, tetapi juga sistem politik. Atas dasar keyakinan ini maka membangun sistem pemerintahan adalah implementasi dari kehendak Ilahi. Kondisi seperti ini, bagi kebanyakan masyarakat Eropa dan Amerika bisa jadi merupakan keganjilan, karena dalam pandangan mereka agama hanya berbicara sebatas pada kesalehan personal seseorang. Islam ternyata memiliki bangunan khas soal hubungan agama dan politik.
Memang tidak bisa dinafikan bahwa bahasan mengenai relasi antara Islam dan politik masih menjadi diskursus yang terus diperdebatkan. Hal demikian bisa dimaklumi karena “teks politik” dalam Islam menjadi objek yang multitafsir. Pertama-tama, tentu saja karena bahasan politik (baca: sistem kenegaraan) dalam al-Qur’an, sebagai sumber utama pengambilan hukum, masih perlu ditafsir ulang. Bahkan ada yang mengatakan, al-Qur’an tidak berbicara eksplisit tentang sistem politik. Maka dari itu, bahasan politik masuk dalam kategori ijtihadiy.
Selain karena teks politik dalam al-Qur’an relatif tidak ada yang menyebutnya secara eksplisit, posisi Nabi Muhammad sendiri seringkali menjadi bahan perdebatan, apakah beliau menjadi pemimpin spiritual semata ataukah juga menjadi kepala Negara. Ini memang menarik, karena mata harus tertuju pada aktivitas Nabi Muhammad di dua tempatnya berdakwah, Mekkah dan Madinah. Sebagai manusia, secara natural Nabi Muhammad tentu saja memiliki karakter yang tak hanya secara makhluk spiritual tetapi juga makhluk politik.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai pendekatan kajian politik Islam, dengan batasan masalah yang akan dbahas sebagai berikut:
1.      Dasar Pendekatan Kajian Politik Islam
2.      Pengertian Studi Islam dan Politik
3.      Teori-Teori Politik
4.      Pandangan Islam Tentang Politik
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan Pengkajian Islam, harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan semua.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Dasar Pendekatan Kajian Politik Islam
Kajian studi Islam dengan pendekatan secara politik didasarkan pandangan sebagai berikut:
Pertama, Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan yang baik dengan manusia dan dengan alam semesta. Melalui hubungan baik ini akan tercipta sebuah kehidupan yang seimbang, tertib, aman, damai, dan harmonis yang selanjutnya menjadi syarat bagi manusia untuk melakukan berbagai kegiatan yang lainnya.[1] Hal ini sesuai dengan diutusnya Rasullah Saw. ke dunia adalah sebagai ramat bagi seluruh alam.

Firman Allah :
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya: “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107).[2]
Kedua, ajaran Islam yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu tauhid, fikih dan tasawuf. Adapun hubungan manusia dengan manusia dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu social dan ilmu politik. Secara spesifik dalam dalam kajian tersebut, yaitu melalui ilmu politik, manusia selain diperkenalkan tentang cara mendapatkan, mengelola dan mempertahankan kekuasaan, juga diajarkan tentang hukum dan etika politik.
Ketiga, Islam memiliki ajaran yang selain berhubungan dengan kewajiban yang bersifat individual yang disebut fardhu ‘ain, juga berhubungan dengan kewajiban kolektif yang disebut fardhu kifayah. Ajaran yang bersifat kolektif ini termasuk ajaran yang berkenaan dengan masalah politik.Dengan ajaran yang bersifat kolektif ini, maka harus di antara anggota masyarakat yang mengurusi masalah politik dalam rangka mewujudkan situasi masyarakat yang tertib, aman, damai, harmonis dan sejahtera.
Keempat, di dalam Al Quran selain terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk taat kepada pemimmpin, keharusan pemimpin yang berbuat adil, memutuskan perkara dengan cara musyawarah, melindungi hak-hak asasi manusia, bersikap jujur, amanah, berani menegakkan kebenaran, cerdas, sehat jasmani dan rohani. Ini semua yang harus dipelajari oleh umat Islam.
Kelima, saat ini ada keinginan yang kuat dari seluruh masyarakat dunia untuk mewujudkan keadaan tatanan politik masing-masing negara yang lebih tertib, aman, damai, harmonis, dan sejahtera, yaitu keadaan masyarakat yang terbebas dari permusuhan atau peperangan antara satu bangsa dengan bangsa lain, bebas dari tindakan terorisme, anarkisme dan radikalisme, bebas dari perbudakan dan eksploitasi, bebas dari pelanggaran hak-hak azasi manusia. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, masing-masing agama, melalui pemimpinnya, diwajibkan memberi kontribusinya, termasuk ajaran Islam.[3]

B.     Pengertian Studi Islam dan Politik
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pembahasan sekitar studi Islam banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam belakangan ini. Amin Abdullah, misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di dalam kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku kuliah? Merespone sinyalemen tersebut. Menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara normativitas dan historitas.Pada dataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan pada dataran historitas tampaknya tidak salah.[4]
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk  berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangandan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari uamat Islam. Nmaun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam dan umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan zaman- telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran objek studi dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.
Politik secara etimology dalam bahasa Arab  disebut Siyasah, yang selanjutnya kata ini kemudian diterjemahkan menjadi siasat. atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Politics. Politik itu sendiri berarti cerdik dan bijaksana, yang dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan  mengartikan sebagi suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi para ahli politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi untuk ilmu politik.[5]
Politik biasanya diwakili oleh kata al Siyasah dan daulah, walaupun kata-kat tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik seperti keadilan, musyawarah, pada mualnya bukan diutujukan untuk masalah politik. Kata Siyasah dijumpai dalam biadang kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah Imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah. Demikian pula kata Daulah pada mulanya dalam al Quran digunakan untuk kasus penguasaan harta di kalangan orang kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan orang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus bergilir dan berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang yang kaya (daulatan baina agniya), kata daulah tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan dalam memutuskan perkara dalam kehidupan, dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk disusui oleh perempuan lain yang dalam  hal iniperlu dimusyawarahkan.[6]
Namun dalam perkembangan selanjutnya sejarah menggunakan kata Siyasah dan kata-kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya yang terkait dengannya.
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain itu poilitik juga menyelidiki ide-ide, azas-azas, sejarah pembentukan negara, di samping menyelidiki hal-hal seperti kelompok elit, kelompok kepentingan, kelompok penekan, pendapat umum, peranan partai politik, dan keberadaan pemilihan umum.
Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata polis yang berarti negara kota, dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan, prilaku pejabat, legalitas kekuasaan dan akhirnya kekuasaan. Tetapi politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaaan, kekuatan, kekuasaan pemerintah, pengaturan konflik, yang memjadi konsesus nasional, serta kemudian kekuatan massa rakyat.
Masalah politik termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Hal inin antara lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, aman, damai, sejahtera lahir dan batin dan seterusnya tidak dapat dilepaskan dari system politik yang diterapkan. Karena demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli terhadapnya.
Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta, politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebiijaksanaaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain.[7]

C.    Teori-Teori Politik
1.      Plato
Plato hidup dari tahun 427 – 347 SM, beliau menerima pelajaran filosofis kenegaraan dari gurunya Socrotes dan Pythagoras yang masing-masing mengajarkan sebagai berikut :
a.       Kebajikan itu berisi pengetahuan tentang yang baik-baik, oleh karena itu masalahnya adalah bagaimana membangun negara dan pemerintahannya agar di dalamnya semua orang tertarik pada kebajikan tersebut dengan demikian pelaksanaan kenegaraan pada agama dan kepercayaan yang transcendental sifatrnya, rohaniah dan metafisika.
b.      Kebajikan itu abstrak sifatnya tetapi ilmu pengetahuan yang terwujud di dunia empiris, sekalipun hal itu adalah pengalaman yang terlihat dan merupakan realita yang dapat ditangkap oleh panca indra.[8]
Karena kedua pendapat ini tidak bertolak belakang, Plato tidak merasa kesulitan untuk mencernanya, bahkan menjadi penganut yang fanatik. Itulah sebabnya paradigm teokratis tetapi tidak selalu menentang azas rasionalitas. Plato masih tetap dalam bentuk utopia yang mempunyai wewenang dan perhatian utamanya pada pemerintahan Tuhan, apa yang diringkas oleh wahyu menjadi peraturan manusia, maka masyarakat yang baik menjadi masyarakat Tuhan yang mengikuti hukum Tuhan.
Dalam bukunya Republic, Plato mengemukakan postulat utopia pertama, yang di dalamnya mereka mempunyai kekuatan nalar yang besar, diberikan kekuasaan terbesar untuk memerintah, dalam buku ini, Plato juga membicarakan bentuk pemerintahan yang ideal.
Selanjutnya Plato menjelaskan bahwa kebenaran sebagai realitas yang sesungguhnya, seharusnya mengikuti kenyataan. Jadi jika kita menafsirkan teori ini, maka terjadinya penindasan, perkosaan, perampokan dan lain-lain, hal ini seharusnya tidak terjadi.
Dalam benak Plato tersimpan pemikiran yang bersumber dari pengalaman menyaksikan gurunya Socrates dipaksa minum racun, dia lalu berkepastian bahwa pemerintah yang berkuasa adalah buruk, karena baginya gurunya adalah yang paling bijak, jujur dan baik. Dari sinilah keluar teori-teori besarnya tentang negara ideal.
Paradigma ini kemudian bergeser ke arah yang lebih rasionalistis, karena timbul pertanyaan-pertanyaan antara lain, apakah kecerdasan dalam ala ini berasal dari Tuhan? Apakah pengaturan alam raya yang tertib ini diatur oleh Tuhan? Mengapa Tuhan memisahkan dirinya dari kehidupan? Mengapa Tuhan menciptakan keburukan?
Plato sendiri sebenarnya sadar bahwa alam pikirannya ini tidak akan dapat direalisasikan di alam kenyataan politik pemerintahan, dalam perjalanan masa yang panjang ini hanya seketika saja suatu masyarakat dapat mempertahankan diri  dalam keadaan pemerintahan yang adil, untuk kemudian setelah itu semakin merosot dan akhirnya runtuh, namun demikian Plato sudah berusaha mencoba menunda proses keruntuhan itu.
Muridnya sendiri yang bernama Aristoteles sudah berpendapat bahwa kebenaran itu hanya subjektif sifatnya, sebab itu benar bagi satu pihak tetapi tidak benar bagi pihak yang lain, karena pendapat dipengaruhi dan berbeda pada berbagai dimensi ruang dan waktu. Itulah sebabnya Aristoteles dalam pemikirannya justru menyetujui perbudakan dan merendahkan kaum wanita.

2.      Aristoteles
Aristoteles hidup antara tahun 384 – 322 SM. (kelahiran Nabi Isa) Dalam suatu system pemerintahan, Aristoteles mendukung adanya segelintir masyarakat yang dianggap sebagai budak budak belian, karena sejalan dengan garis hukum alam, dan dia bahkan percaya krendahan martabat wanita dibandingkan kaum pria, ini berlaku dipengaruhi oleh budaya yang berkembang saat itu.Pada kesempatan lain, Aristoteteles berpendapat bahwa kemiskinan adalah bapaknya revolusi atau dia mengatakan bahwa siapa yang sudah memahami arti memerintah sesame manusia, pasti yakin bahwa nasib suatu imperium tergantung pada pendidikan dari generasi penerusnya.
Aristoteles tampak semakin sekuler, karena berusaha memisahkan perenungan kerohanian yang transcendental dengan kehidupan keduniawian, Tuhan baginya muncul karena kadar intelektual manusia belaka. Jika alam semesta bermula dari Tuhan, maka awalnya juga dapat diusut dengan mengetahui Tuhan itu sendiri, tetapi karena kita tidak dapat menjelaskan akar-akar misterius dari rasionalitas manusia, maka para ahli agama mengandaikan bahwa mengenal sesuatu yang rasional adalah dengan mengenal Tuhan, sehingga rasionalitas akan menjadi serba mistis karena mempercampur adukan antara alam  dengan Tuhan.
Penguasa Macedonia Alexander yang Agung, juga pernah menjadi murid Aristoteles, tetapi kemudian walaupun pernah membiayai kehidupan Aristoteles, akhirnya menjadi penentang gurunya ini. Untunglah sang Penguasa lebih dulu meninggal dunia, sedangkan gurunya yang telah melarikan diri. Inilah perjalanan ilmu negara awal dari kajian filsafat yang dimulai dari pemikiran teokrasi kemudian rasionalitas.[9]
3.      Jean Jacques Rousseau
Beliau adalah seorang anti rasionalisme dan merupakan penyumbang dalam menyampaikan pendapat tentang demokrasi dan persamaan hak serta derajat manusia. Karena melihat penggunaan teknologi yang tidak terkendali dia melakukan penentangan terhadap kemajuan teknologi yang semakin canggih, baginya perkembangan ilmu pengetahuan memang tidak ada kaitannya dengan perbaikan nilai-nilai luhur dan moral, bahkan menimbulkan dekadensi dan korupsi yang melawan hati nurani. Dalam bukunya yang terkenal tentang perjanjian masyarakat (Du Contract Social). Dia menunjukkan bagaimana pemerintahan negara yang seharusnya untuk mengupaya tetap bebas secara ilmiah.

4.      Thomas Hobbes
Dia seorang meterialistis, karena baginya kehidupan manusia hanya didasari oleh keinginan-keinginan mekanis saja, oleh karena itu dapat bertabrakan satu sama lain. Jadi karenanya diperlukan pemerintah sebagai organisasi terbesar dalam negara dan memiliki legitimasi untuk berkuasa, termasuk kekuasaan untuk mengatur dan mengurusi rakyatnya, yang kemudian harus dipatuhi sehingga pemerintahan itu sendiri berfungsi.
Karena kehidupan manusia seluruhnya dianggap meteri, maka jiwa dan ruh baginya juga dimaterikan. Dia memang termasuk penyandang psikologi social ilmiah. Menurutnya segala kejiwaan dapat dimaterikan seperti kecemburuan, kebencian, kecintaan, kemarahan dan keinginan untuk damai. Dia tidak mempercayai alam meta fisik.
Jadi menurut Hobbes, untuk mengatur masyarakat suatu negara, harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip dan norma-norma yang berlaku sesuai situasi dan kondisi serta ruang dan waktu. Keberadaan agama dan peraturan moral yang dibuat manusia terlalu khayal dan mengada-ada. Namun demikian pemerintah harus mampu menata masyarakat dengan damai, sehingga emosi dapat diredam. Ketakutan manusia kepada maut adalah karena manusia itu sendiri gentar menunggu berakhirnya eksistensi dirinya, yaitu mati itu sendiri. Namun pembicaraanny tidak tuntas, mengapa manusia memiliki rasa dan dari mana datangnya rasa, dapatkah diciptakan rasa dan dapat pulakah rasa dihilangkan. Bukunya yang paling terkenal adalah “Leviathan”.

5.      Frederich Hegel
Dia berpendapat bahwa kehendak negara selama ini bukan berarti kehendak rakyat secara keseluruhan, sebab masing-masing individu memiliki beraneka ragam pendapat subjektif sifatnya, tergantung kebutuhan seseorang. Agar menjadi objektif harus digabung, hanya saja yang paling sering tampak di suatu negara adalah pendapat seseorang atau sekelompok kecil orang tertentu, yang kemudian dianggap pendapat missal, oleh karena itu terkadang bertentangan dengan pendapat seseorang.
Hal tersebut dapat diterima karena melihat bagaimana sulitnya masyarakat menerima keputusan pungutan pajak yang bertikai secara tidak adil antara peruntungan si miskin dan peruntungan si kaya, bagaimana sulitnya masyarakat menerima wajib militer di berbagai negeri dan bagaimana sulitnya masyarakat berbagai keputusan hukum lainnya. Namun bagaimanapun mereka hasrus menerimanya suka atau tidak suka, karena negaralah yang berwenang memiliki hak memaksakan dalam kehidupan berpemerintahan.

6.      Niccollo Machiavelli
Bagi Machiavelli yang penting dalam politik pemerintahan negara adalah kekuasaan, dia menghalalkan segala cara untuk tetap berkuasa. Jadi yang dianjurkan bukan bagaimana melaksanakan etika bernegara yang baik tetapi bagaimana seseorang atau kelompok orang dapat merebut kekuasaan dan mempertahankannya.
Praktek kekuasaan yang nyata, menurut Machiavelli tidak ada hubungannya antara kekuasaan tersebut dengan etika bernegara, karena negara itu menurutnnya bersifat sekuler, termasuk di dalamnya berbagai perebutan kekuasaan, sedangkan etika yang berkaitan dengan norma yang berkenaan dengan peraturan Tuhan yang transcendental sifatnya, yaitu dianggap berorientasi kepada dunia ghaib.
           
7.      George Jellineck
George  Jellineck adalah bapak ilmu negara karena orang pertama yang mengusulkan negara sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, namun posisi ilmu negara tetap berkaitan dengan ilmu hukum. Pembagian Jellineck adalah bahwa ilmu negara bagian dari ilmu-ilmu kenegaraan sebagai induk tertinggi, yaitu negara dalam arti luas termasuk berbagai ilmu politik, hukum tata negara, pemerintahan dan administrasi negara. Induknya ilmu-ilmu kenegaraan dibagi atas ilmu negara dalam arti sempit yaitu yang hanya membahas timbul tenggelamnya negara  di satu pihak sedangkan di pihak lain, ilmu-ilmu pengetahuan hukum  tetapi yang berkenaan dengan negara seperti hukum tata negara, hukum administrasi negara dan hukum antar negara.Di samping itu Jellineck juga menulis tentang ilmu pemerintahan.

8.      Montesquieu
Montesquieu lahir pada tahun 1689 M. yaitu ketika John Lock sudah berumur 57 tahun, jadi ia sangat dipengaruhi oleh pendahulunya itu, John Lock berpendapat bahwa kekuasaan dibagi menjadi Eksekutif, Legislatif dan Federatif dengan tanpa pembentukan Yudikatif yang terpisah, karena fungsi para hakim bagaimanapun tetap akan dipengaruhi Eksekutif (pemerintah).Sedangkan Montesquieu berpendapat harus tetap dipisahkan, dengan alasan karena ia  sendiri adalah seorang Hakim dan penulis buku-buku polik, hukum dan pemerintahan.Teorinya tentang konstitusi ideal termuat dalam bukunya L’Esprit des Lois yang berarti “ Jiwa Undang-Undang” . Teori inilah yang kemudian oleh Imannuel Kant diistilahkan dengan nama Trias Politika.
Maksud Montesquieu apabila ketiga kekuasaan tersebut dipisahkan secara drastic maka salah satunya tidak akan terlalu kuat dan menghancurkan kebebasan rakyat. Oleh sebab itu sekarang antara lembaga kekuasaan tersebut saling mengawasi (checking power with power).

9.      Al-Farabi
Al-Farabi dilahirkan di Khurasan sekitar 258 H/870 M.,dan wafat pada tahun 339 H./870 M. di Damascus. Dialah yang meratakan jalan bagi dan menyiapkan permulaan yang otoritatif untuk terjadinya integrasi antara filsafat Yunani dan pelbagai cabangnya di satu pihak dan filsafat Islam di pihak lain. Bagi Al-Farabi, usahanya itu tidak hanya merupakan sebuah program ambisius dalam pembaruan politik yang bertujuan membangun kembali fondasi politik sebuah masyarakat religiu. Ide-idenya jelas sangat menarik, terlepas dari fakta bahwa di tidak memiliki pengaruh besar terhadap praktik politik atau pemerintahan pada zamannya. Meski demikian, pengaruhnya terhadap pemikir yang datang setelahnya tidak dapat dibantah.
Al-Farabi memulai dengan pernyataan mengenai pentingnya sebuah asosiasi politik. Pemikiran politiknya berkaitan dengan tujuan utama kehidupan manusia dan metode pencapaian tujuan tersebut. Menurutnya, tujuan akhir dari usaha manusia ialah kebahagiaan. Dia percaya bahwa negara adalah alat (instrument) yang tepat untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan sejati itu. Dengan kata lain, manusia membutuhkan asosiasi politik, yaitu dalam bentuk sebuah negara-kota yang dipimpin oleh raja-filosof yang diidentifikasi sebagai pembuat hukum dan imam agar bertahan dan berjuang mewujudkan kesempurnaan. Lebih jauh, manusia tidak bisa menyediakan untuk diri mereka kebutuhan-kebutuhan hidup atau apa saja yang mereka butuhkan dalam rangka mencapai kesempurnaan tanpa bantuan orang lain. Dalam karyanya Tahsil al-Sa’adah, dia menjelaskan jalan hidup yang harus dilalui oleh manusia untuk memdapatkan kesempurnaan, dan mengartikan kebahagiaan sebagai barang (harta) yang tertinggi yang dicari manusia untuk kepentingan mereka. Lebih lanjut ia mendiskusikan tentang kualitas penguasa sempurna (filosof-imam). Dia harus memiliki kesempurnaan rasional (intelek) dan kemampuan imaginasi (intuisi).[10]

10.  Al Mawardi
Al Mawardi cenderung lebih bersifat realistik dan berorientasi pada masalah konstitusi kenegaraan, sementara Al Farabi bersifat idealistic dan mengutamakan pemikiran politiknya tentang kualitas pemimpin (kepala negara). Bagi Al Mawardi, agar terciptanya kerja sama yang baik antar warga masyarakat maka institusi negara menjadi sangat dibutuhkan. Penyelanggaraan pemerintahan (kenegaraan) harus melalui apa yang disebut dengan “kontrak social” yakni kooperasi antara kepala negara (eksekutif) dengan kelompok ahlul hal wal aqdi (legislative). Keapala negara merupakan khalifah kenabian. Beberapa factor pendukung utama negara adalah: organisasi, penguasa, nilai keadilan, stabilitas, basis ekonomi serta system pembangunan yang berkelanjutan.
Sistem pemerintahan ala Al-Mawardi bersifat realistic, karena berangkat dari masyarakat itu sendiri. Al-Mawardi juga menekankan pentingnya suku Quraisy sebagai prasyarat seorang pemimpin negara. Yang dimaksud disini tentu karena waktu itu suku Quraisy dianggap mewakili golongan elite social yang mahir dalam memimpin di samping kharismatik. Bagi Al-Mawardi, konsep suksesi haruslah melalui dewan legistlatif (ahlul ikhtiar). Menurut Al-Mawardi ada 7 syarat kepala negara yang laik memimpin negara. Bentuk operasional suksesi bisa juga melalui cara wasiat atau penunjukan. Tampakknya Al-Mawardi tidak memastikan secara mutlak bagaimana konsep suksesi itu dilaksanakan. Tergantung situasi dan kondisi. Jadi suksesi bisa dilakukan secara pemilihan umum (pemilu), team formatur maupun penunjukan secara langsung.
Al-Mawardi ternyata telah terlebih dulu memperkenalkan teori kontrak social pada awal abad XI M. dan baru lima abad kemudian mulai bermunculan teori kontrak social di Barat, seperti Hubert Languet (1519-1581). Thomas Hobbes (1588-1679 M.), John Locke (1632-1704 M.) dan Jean Jaques Rousseau (1712-1778 M.). Al-Mawardi juga merupakan satu-satunya pemikir politik Islam sampai abad pertengahan yang berpendapat bahwa kepala negara dapat digantikan kalau ternyata tidak mampu lagi melaksanakan tugas dengan baik disebabkan oleh persoalan moral, misalnya, maupun masalah-masalah lainnya. Namun Al-Mawardi belum memberikan system atau mekanisme yang jelas tentang itu.[11]

11.  Al-Ghozali
Pemikiran politik Al Ghozali memiliki khas tersendiri dibanding Al-Farabi maupun Al-Mawardi, dimana Al-Ghozali menekankan soal profesi kerja yakni pertanian, pemintalan (tenun), pembangunan dan politik. Tentang profesi politik merupakan profesi yang terbaik, menurut Al-Ghozali tentunya sesuai dengan kondisi waktu itu, Ghozali memperkenalkan empat departemen pokok  dari profesi politik ini yaitu bidang agraria, Hankam, kehakiman dan kejaksaan.
Menurut Al Ghozali, kehidupan dunia ini merupakan ladang akhirat.Maka negara butuh seorang pemimpin yang dapat menjamin terselenggaranya berbagai profesi rakyat ( soal lapangan pekerjaan).Bagi Al Ghozali, agama dan negara (penguasa) ibarat fondasi maupun pelindung). Agama dan negara itu menyatu, tidak tersekularistis. Agama dipimpin oleh Nabi, sedangkan negara dipimpin oleh raja. Kedudukannya merupakan manusia pilihan Tuhan. Al Ghozali mencetuskan bahwa sultan menrupakan bayangan Tuhan di muka bumi. Konsep atau pemikiran politik Al Ghozali ini cenderung berwatak teokratis. sedangkan Al Mawardi bercorak demokratis  (rakyat).
Al-Ghozali menentukan tujuh syarat seorang kepala Negara, dan wanita tidak berhak untuk menjabat sebagai kepala negara berdasarkan hadits Nabi.Ada inidikasi bahwa ketika hadits dikeluarkan, derajat wanita dalam masyarakat masih di bawah derajat laki-laki. Hanya lelaki yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara.[12]
Di dunia Barat, al-Ghozali dikenal dengan nama Abu Hamet dan Algazel. sedang di dunia Islam ia diberi gelar Hujjatul Islam.[13]

12.  Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah mengemukan pendapat politiknya terutama yang berkaitan dengan teori khilafah. Ia mengatakan bahwa konsep khilafah sebagaimana pemahaman di masa Abbasiyah bukan bersumber dari al Qur’an dan al Hadits. Pemahaman konsep khilafah di masa klasik (awal Islam lebih ideal ketimbang masa Abbasiyah). Sikap Ibnu Taimiyah lebih cenderung dinilai bahwa pemikiran politiknya lebih dekat dengan kelompok Khawarij. Menurut Ibnu Taimiyah, konsep negara, tidak ada dalam Al Qur’an, yang ada hanya unsure-unsur negara itu sendiri seperti, keadilan, persaudaraan, pertahanan, kedamaian, kepatuhan dan lain-lain.
Ibnu Taimiyah tidak mengakui adanya konsep negara tunggal seluruh dunia Islam, ini sangat utopis, Dengan demikian Ia tidak mengakui secara implicit, istilah negara Islam, atau sistem khilafah negara-negara Islam. Baginya yang penting setiap negara, tetap sebagai penyelenggara syariah.Konsepsi Islam Ibnu Taimiyah mirip bentuk nomokrasi, Ia menyatakan  Islam bukan Monarki, aristokrasi, demokrasi, Ibnu Taimiyah tampaknya bergeser dari pemikiran khilafah ke system pemerintahan modern yang lebih fragmatis, fungsional, dan rasional. Sungguhpun demikian, secara tekstual, beliau identik dengan  Al Ghozali dalam hal kepala negara, dimana eksistensi kepala negara itu diperlukan bukan saja sekedar menjamin keselamatan jiwa dan harta rakyat maupun telah terpenuhi kebutuhan bidang material tetapi lebih dari itu untuk menjami berlakunya syariat.              

13.  Ibnu Khaldun
Beliau lahir tahun 1332 M. dan wafat tahun 1406 M. Ia adatlah seorang muslim yang taat oleh karena itu tulisan-tulisannya dipengaruhi oleh Al Qur’an dan Al Hadits yang diyakini sebagai sumber kebenaran itu sendiri.
Dalam bukunya yang sangat terkenal yaitu “Al Muqaddimah”, beliau menulis antara lain bahwa kerajaan dan dinasti hanya bisa ditegakkan atas bantuan solidaritas rakyat, karena kemenangan terdapat di pihak yang memiliki solidaritas lebih kuat dan yang para anggotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati demi kepentingan bersama.
Kedudukan raja adalah suatu kedudukan terhormat dan diperebutkan, karena memberikan kepada orang yang memegang kedudukan itu, segala kekayaan duniawi dan juga kepuasan lahir dan batin. Karena itu menjadi sasaran perebutan dan jarang sekali dilepaskan kekuasaan dengan suka rela, sebaliknya selalu di bawah paksaan. Perebutan membawa kepada perjuangan dan peperangan serta runtuhnya singgasana-singgasana, semuanya itu tidak dapat terjadi kalau tidak dengan solidaritas social.
Selanjutnya, Ibnu Khaldun juga menulis bahwa apabila negara sudah berdiri dengan tegak, negara tersebut dapat meninggalkan solidaritas social, karena negara yang baru didirikan hanya meimiliki kepatuhan rakyat dengan bantuan banyak paksaan dan kekerasan, walaupun rakyat sendiri belum membiasakan diri dengan kekuasaan yang baru dan asing tersebut.
Dalam penjabaran etika  bernenegara, Ibnu Khaldun sangat berpatokan kepada prilaku kehidupan Nabi Muhammad Saw. yaitu sebagai Nabi dan Rasul serta selaku kepala pemerintahan dan kepala negara beliau tegas dalam memburu dekadensi moral, tetapi dalam menghadapi yatim piatu dan orang tua jompo, beliau sangat berbelas kasih, karena Nabi itu sendiri diutus untuk menyempurnakan budi pekerti, termasuk dalam etika bernegara.[14]


14.  Taqiyuddin An Nabani
Taqiyuddin An Nabani menolak demokratisasi dalam keberadaan negara karena pada berbagai kesempatan mengutamakan voting dengan alasan bila dilakukan pada daerah pemilihan lokalisasi pelacuran, maka sudah barang tentu tidak menutup kemungkinan yang terpilih adalah germo sebagai pemimpin dan wakil mereka karena suara terbanyaknya adalah pelacur.Selain itu kajian filosofis terhadap Islam juga sangat ditolak, karena merupakan pemikiran Yunani yang secular sehingga pada akhirnya akan meniadakan eksistensi Tuhan.
Taqiyuddin An Nabani adalah pendiri Hizbut Tahrir, yang mengkomandokan seluruh anggota partainya untuk tidak berkenan ikut pemiihan umum di negara manapun kecuali pemilihan umum untuk pemilihan khalifah atau legislative yang bersendikan syariat Islam, keberadaan negara republic dan negara kerajaan bukanlah tujuan mereka karena bertentangan dengan syariat Islam.
Negara Islam yang mereka dambakan adalah system kekhalifahan yang mengatur dunia dan akherat tanpa terpisah sehingga pemimpin Beragama  sekaligus menjadi pemimpin pemerintahan  Sebagaimana layaknya kekhalifahan mulai dari Khalifah Khulafa Al Rasyidin sesudah Rasulullah Saw. ,kekhalifahan Umayah, kekhalifahan Abbasiyah sampai pada kekhalifahan Ottoman yang terakhir dibubarkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki pada tahun 1924. Tetapi bukan berarti kekahlifahan akan lahir kembali di Turki, negara manapun boleh mempelopori dan setelah memenuhi syarat syariat Islam, mereka akan membaiat pemimpinnya.

15.  Hasan Al Banna
Pada tahun 1906 Imam Al Banna lahir di kota Mahmudiyah dekat Iskandariyah. Beliau cukup lama tinggal di Ismailiyah, sehingga disinilah beliau untuk pertama kali mendirikan kantor Ikhwanul Muslimin, dari tempat inilah Ikhwanul Muslimin menyebar ke kota kairo bahkan seluruh negeri Mesir.
Bagi Ikhwanul Muslimin, partai politik apapun dapat berdiri dengan nuansa budaya daerah dan negara masing-masing, namun di sisi lain harus berpedoman dengan Qur’an dan Hadits. Di Malaysia ide seperti ini disambut oleh Anwar Ibrahim sedangkan di Indonesia, adalah Partai Keadilan Sejahtera yang pikirannya mengacu kepada pada ajaran Hasan Al Banna, sejarah membuktikan bahwa partai ini relative paling jujur dibanding dengan partai yang lain.
Baik pemilihan umum tahun 1999 maupun 2004 partai ini sempat diminati oleh para kaum muda yang utamanya adalah mahasiswa, karena dakwahnya melibatkan kampus, sayang pada pemilihan umum pertama pasca reformasi partai ini tidak memenuhi syarat untuk jumlah pemilih yang disyaratkan sehingga bergabung bersama Partai Amanat Nasional dan pada pmilihan umum berikutnya partai yang semula bernama Partai Keadilan berganti nama menjadi Partai Keadilah Sejahtera, dan hasilnya cukup mengejutkan, karena naik drastic dalam pengumpulan suara pemilih.
Karena dianggap akan membahayakan pemerintah Negara Kesatuan Republik Mesir dan menolak perdamaian dengan Israel, Hasan Al Banna akhirnya dibunuh intel Mossad Yahudi, setelah doberondong peluru berjam-jam, jenazah beliau tidak ada yang mengurusi, akhirnya beliau gugur sebagai syuhada.

D.    Pandangan Islam Tentang Politik
Di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah politik dengan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri. Kuntowijoyo misalnya mengatakan: “Banyak orang, bahkan pemeluk agama Islam itu sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi sebuah komunitas (umat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan  dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi bersama”.[15]
Pernyataan tersebut selanjutnya dijelaskan oleh Kuntowijoyo secara meyakinkan dalam bukunya itu, bahwa Islam memiliki konsep tentang politik.
Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik selanjutnya dapat diikuti darai uraian yang diberikan Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya Jilid II. Dalam bukunya beliau menegaskan bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah, bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.[16]
Saat Nabi Muhammad Saw. berada di Madinah, beliau tidak hanya mempunyai sifat sebagai Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat sebagai kepala negara. Dan sebagai kepala negara, setelah beliau wafat mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Para peneliti sejarah politik ada yang mengatagorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. adalah bercorak teo-demokratis, yaitu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan. Hal ini dimungkinkan karena pada masa Nabi Muhammad Saw. masih dalam proses turunnya wahyu.
Era Rasulullah Saw. mencerminkan persatuan, usaha, dan pendirian bangunan umat serta menampilkan ruh (spirit) yang mewarnai kehidupan politik.dan mewujudkan replica bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, pemikiran teoritis saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian belum lagi era tersebut berakhir, sudah muncul factor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk teori-teori secara lengkap. Di antara factor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat system social yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berfikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail system ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya.[17]
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw. dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah, jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variable-variabel politik di era modern tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa system itu adalah system politik par excellence. Dari nama yang dipilih Nabi Saw. bagi kota hijranya itu menunjukkan rencana Nabi Saw. dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas politik, yaitu sebuah negara.[18]  Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa system itu adalah system relegius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental maknawi tempat system itu berpijak.
Setelah Rasululullah Saw. wafat, secara berturut-turut pemerintahan negara dipegang oleh Abu Bakar, kemudian oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Corak pemerintahan yang dipraktikkan oleh para khalifah yang empat ini bebeda dengan yang dipraktikkan  di zaman Nabi Muhammad Saw.Pada zaman khalifah yang empat ini, bercorak pemerintahan aristocrat demokratik, yaitu system pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dengan cara musyawarah yang para anggotanya terdiri  dari kalangan aristocrat. Bahkan dalam pemilihan khalifah pun dilakukan secara musyawarah  misalnya, Ali bin Abi Thalib adalah saudara Nabi Muhammad Saw.dan Abu Bakar adalah sahabat yang sangat dekat dengan beliau, semuanya sama sekali berarti yang satu lebih berhak atas kekhalifahan daripada yang lain. Sebab di atas semuanya itu masalah kekhilafahan memerlukan adanya musyawarah. Jadi sekalipun Rasulullah Saw. telah menyebut Ali sebagai saudara, menyebut Abu Bakar sebagai shaddiq (teman atau sahabat) dan menghargai Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan sebagai menantu beliau, namun semuanya itu tidak berarti keharusan mereka dibaiat sebagai khalifah, karena prinsip musyawarah wajib dilaksanakan oleh kaum muslimin dalam menghadapi urusan-urusan keduniaan.[19] Namun ironi bahwa bibit perpecahan umat disebutkan terjadi pada masa Utsman bin Affan  dan mencapai puncaknya di zaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebab-sebabnya antara lain adalah, pemerintah Utsman bin Affan sudah kurang lurus. Politik nepotisme yang diterapkan di zaman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan kedudukannya.
Selanjutnya setelah Utsman wafat, Ali bin Abi Thalib tampil menggantikannya. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, tertuma Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan dari Aisyah, tantangan yang datang dari Muawiyah Gubernur Damaskus, dan selanjutnya membawa kepada terjadinya peperangan yang diselesaikan dengan Tahkim (arbitrase) yang secara politik dan diplomatic mengalahkan pihak Ali. Keadaan ini kemudian memicu ktidakpuasan sebagian pengikutnya dan mereka keluar dari barisan Ali dan membentuk aliran Syiah, sedangkan mayoritas lainnya menamakan dirinya sebagai kaum suni. Pengelompokan umat semacam ini terus berlangsung sampai sekarang dan kemudian berpengaruh terhadap  corak ajaran agama Islam.[20]
Dengan demikian, menurut DR. Dhiauddin Rais dalam bukunya Teori Politik Islam (Terj.) bahwa ia mengatakan, peristiwa-peristiwa yang berentetan ini telah menyingkap adanya tiga partai :partai kerajaan monarki, partai Muhakkimah atau Khawarij yang mewakili karakter Arab Badui yang suka blak-blakan, dan partai Syiah yang ada di seputar Ali dan anak-anaknya. Dan kontradiksi yang terjadi masing-masing, serta relasi-relasi yang bermacam-macam yang tumbuh di antara mereka, itulah yang berperan bersama dalam sejarah Dinasti Umawiyyah, sampai akhir abad pertama hijriyah, minimal.[21]
Adapun pandangan Islam tentang politik dapat dipahami dari ayat-ayat Al Quran dan Hadits berikut:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS: Annisa: 59)

È@è% ¢Oßg¯=9$# y7Î=»tB Å7ù=ßJø9$# ÎA÷sè? šù=ßJø9$# `tB âä!$t±n@ äíÍ\s?ur šù=ßJø9$# `£JÏB âä!$t±n@ Ïèè?ur `tB âä!$t±n@ AÉè?ur `tB âä!$t±n@ ( x8ÏuŠÎ/ çŽöyø9$# ( y7¨RÎ) 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇËÏÈ

Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali-Imran:26)

* ÏŒÎ)ur #n?tFö/$# zO¿Ïdºtö/Î) ¼çmš/u ;M»uKÎ=s3Î/ £`ßg£Js?r'sù ( tA$s% ÎoTÎ) y7è=Ïæ%y` Ĩ$¨Y=Ï9 $YB$tBÎ) ( tA$s% `ÏBur ÓÉL­ƒÍhèŒ ( tA$s% Ÿw ãA$uZtƒ Ïôgtã tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÊËÍÈ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

            Hadits Nabi Muhammad Saw. berbunyi:
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته.  (رواه بخاري و مسلم)
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari beberapa ayat tersebut dijumpai berbagai isltilah yang berkaitan dengan pemimpin, yaitu ulil amri (pemegang kekuasaan), khalifah (penguasa), al-Mulk (raja), wali (teman/pelindung), imam dan rain (pemimpin). Menurut Munawir Sadzali ayat-ayat ini mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat, seperti prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, keadilan, persamaan dan kebebasan beragama.[22]
Selain itu, ayat-ayat dan hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam menganut politik yang fleksibel, yakni system politik yang dapata menerima berbagai bentuk system pemerintahan, seperti kerajaan (monarki), kesultanan, republic Islam, parlementer, gabungan antara parlementer dan kerajaan. Saudi Arabia dan Brunei Darussalam menggunakan bentuk monarki atau kerajaan; Pakistan dan Iran, misalnya menggunakan bentuk republic negara Islam; Malaysia menggunakan gabungan antara kerajaan dan parlementer; dan Indonesia menggunakan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, namun memberikan hak dan melindungi  pada setiap rakyatnya untuk memeluk, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghuchu).
Dengan demikian, Islam tidak sepenuhnya sejalan dengan pendapat Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, syekh Muhammad Ridha, dan al-Maududi yang menyatakan bahwa system ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah system yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. dan oleh para al-Khulafaur Rasyidin.
Islam juga menolak pendirian Ali Abd. al-Raziq dan Thaha Husein yang mengatakan, bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas yang tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan mendirikan atau mengepalai satu negara. Islam tidak sejalan atau bertolak belakang dengan pendapat serupa ini.
Dalam hal pandangan politik, Islam membenarkan pendapat Mohammad Husein Haikal yang berpendirian, bahwa dalam Islam tidak terdapat system ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan ketatanegaraan.[23]
Islam memberi keleluasan terhadap manusia selaku khalifah di muka bumi ini, yaitu manusia mengemban amanat Allah untuk mengatur dan membuat rasa aman di muka bumi ini.Oleh karena itu supaya tidak terjadi pertumpahan darah dan perusakan di alam dunia ini, maka manusia baik secara individu atau kelompok memilih orang-orang yang terbaik untuk memerintah dan mengatur kondisi masyarakat atau negara, agar tercapai tujuan kedamaian dan keamanan di masyarakat (negara). Islam tidak memberi atau memaparkan bentuk pemerintahan yang khusus, melainkan memberikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan dalam sebuah pembentukan negara (politik).Seperti: prinsip keadilan, musyawarah, persamaan, ketaatan kepada pemimpin, konsultasi dan kebebasan dalam beragama.




BAB III
PENUTUP
            Berdasarkan paparan tersebut, dapat dikemukakan catatan analisis sebagai penutup sebagai berikut:
1.      Baik secara normatif (berdasarkan al Quran dan al Sunah) maupun secara  historis (praktik kehidupan dalam sejarah) Islam memiliki perhatian yang besar terhadap masalah politik. Perhatian ini ditujukan dalam rangka menciptakan keadaan masyarakat yang aman, tertib, damai, harmonis, dan sejahtera lahir dan batin
2.      Secara fakta sejarah bahwa kehidupan politik sejak para khulafaur rasyidin yang empat terutama khalifah yang ke tiga daan keempat memberikan pengaruh terhadap perbedaan yang kuat dalam masalah teologi Islam.
3.      Di dalam Islam terdapat berbagai istilah yang berkaitan dengan masalah politik antara lain kata-kata pemimpin, pelindung, penguasa, pemegang kekuasaan, pemimpin keagamaan, dan pemimpin dalam arti luas. Adanya berbagai istilah tersebut menunjukkan, bahwa Islam menetapkan sebuah bentuk struktur atau system politik tertentu untuk digunakan oleh seluruh dunia, melainkan menganut paham yang lebih fleksibel, akomodatif, dan sesuai keadaan masyarakat. Islam lebih mementingkan moral, etika dan spiritual politik.
4.      Fakta sejarah, membuktikan dengan jelas bahwa Islam tidak menganut system ketatanegaraan tertentu. Islam sama sekali tidak mempersoalkan bentuk atau system ketatanegaraan tersebut, Hal yang demikian ditempuh, karena jika Islam menetapkan system ketatanegaraan tertentu, dan system tersebut tidak cocok bagi masyarakat Islam di suatu negara tertentu, maka berarti Islam telah mempersulit umatnya. Keadaan ini tidak ditempuh oleh Islam, karena tidak sejalan dengan prinsip Islam yang fleksibel, sesuai dengan zaman dan tempat, tidak menyusahkan orang dan seterusnya sebagaimana telah tampak jelas dalam karakteristik ajaran Islam.








DAFTAR PUSTAKA

Agama, Departemen, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, Al Quran dan Terjemahannya,       (Jakarta: PT Bumi  Restu 1977)
Al Husaini, Al Hamid, Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad Saw. Sejak Sebelum Diutus             Menjadi Rasul, (Bandung: Pustaka Hidayah,2000), cet. I,
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Islam,(Jakarta:Grafindo Persada,1996),Cet. ke 1.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam,(Bandung:Mizan,1997),Cet I,
Mufid, Nur & Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al Mawardi, (Surabaya: Pustaka Progressif,2000),
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya    Media  Pratama,2001), Cet. I,
Nasution,  Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:UI Press,1979), cet I,
Nata ,Abudin, Metodologi Studi Islam , ed. rev. (Jakarta,:Rajawali Pers, 2011)Cet. ke 18
Nata,Abudin, Studi Islam Komprehensif,edisi I cet I, (Jakarta :Kencana, 2011)
Rais,Muhammad Dhiauddin, Teori  Politik  Islam, Terj. (Jakarta: Gema Insani Press,2001), cet. I.
Syafiie, Inu Kencana. Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2009)
           
















 



[1] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif,edisi I cet I, (Jakarta :Kencana, 2011) hlm. 447.
[2] Departemen Agama Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, Al Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: PT Bumi Restu 1977) hlm. 508 
[3] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, Op cit., hlm. 448
[4] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam , ed. rev. (Jakarta,:Rajawali Pers, 2011)Cet. ke 18, hlm.150.
[5] Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2009) cet. I, hlm.57.
[6] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Op cit, hlm 316 – 317.
[7] Ibid, hlm.316.
[8] Inu Kencana Syafiie,Pengantar Ilmu…., hlm. 95-96
[9] Inu Kencana Syafiie,Pengantar Ilmu…., hlm.96-97
[10] Nur Mufid & Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al Mawardi, (Surabaya: Pustaka Progressif,2000),hlm.77- 79
[11] Muhammad Azhar, Filasafat Politik, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. I, hlm,179-180
[12] Ibid, hlm. 181
[13] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif…, hlm.301
[14] Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu…., hlm.98
[15] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung:Mizan,1997),Cet I,hlm. 27.
[16] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:UI Press,1979), cet I, hlm. 92.
[17] Muhammad Dhiauddin Rais, Teori  Politik  Islam, Terj. (Jakarta: Gema Insani Press,2001), cet. I, hlm. 4.
[18] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya MediaPratama, 2001), Cet. I, hlm. vii.
[19] Al Hamid Al Husaini, Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad Saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Rasul, (Bandung: Pustaka Hidayah,2000), cet. I, hlm. 972.
[20] Abudin Nata, Metodologi Studi….,hlm.319.
[21] Muhammad Dhiauddin Rais, Teori  Politik ….,hlm.37.
[22] Ibid., hlm.455-456.
[23] Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar