MAKALAH PENDEKATAN KAJIAN ISLAM DI PESANTREN
BAB I
PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak
terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia
adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya
mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak
lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya.
Di antara sisi yang
menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat
keIslaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya
tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya,
hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di
tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan
kiprahnya bagi masyarakat. negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap
sepele atau dilihat sebelah mata. Fakta yang tak terbantahkan bahwa alumnus
pesantren mampu bersaing di kancah peradaban sebut
saja Gusdur, cendikia Nurkholis Majdid, dan masih banyak tokoh
lainnya.
Sejarah juga mencatat
bahwa pesantren adalah benteng pertahanan terakhir bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari jasa para ulama alumni
pesantren. Begitu pula, komunitas pesantren punya andil besar dalam mengatasi
pemberontakan komunis dan kaum sparatis pengacau republik Indonesia. Bagi umat
Islam Indonesia, melalui pesantrenlah mereka berharap kontinuitas dakwah Islam
terus berlanjut. Hilangnya pesantren berarti lenyap pula Agamawan
(ulama) serta orang-orang shaleh. Jika demikian tinggal menunggu sirnanya agama
tersebut. Sungguhpun saat ini telah menjamur sejumlah institusi pendidikan
formal yang berlabelkan Islam, output nya ternyata tak mampu
melahirkan para ulama yang bisa dikatakan sebagai warosatul Anbiya’[1]
Pendidikan merupakan
salah satu faktor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dan menempuh produktifitas di segala sektor kehidupan,
bahkan untuk menanamkan life skillkepada generasi muda sebagai penerus
pelaksana pendidikan seutuhnya di Indonesia.[2]
Dalam praktek masyarakat ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa ini, baik dari segi materiil dan moril. Dan pesantren punya andil besar
dalam pendidikan di Indonesia. Berikut akan di paparkan menganai
kajian pendidikan Islam di pendidikan pondok pesantren di Indonesia tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Latar Belakang
Pesantren
Sebelum menyampaikan beberapa pendapat tentang
pengertian pondok pesantren, terlebih dahulu penulis mengemukakan asal mula
keberadaan pondok pesantren. Istilah pesantren pada mulanya, lebih dikenal di
pulau Jawa, karena pengaruh istilah pendidikan Jawa kuno di mana dikenal sistem
pendidikan dan perguruan, dengan kyai dan santri hidup bersama. Untuk di daerah
Sumatra, lebih dikenal dengan istilahzawiyah (pemondokan) yang fungsinya
untuk menampung para fakir yang hendak melakukan wirid.
Zawiyah secara harfiyah berarti sudut, yaitu
sudut masjid, tempat orang suka berkerumun mengadakan pengajian. Kerumunan
orang-orang yang belajar agama di zawiyah disebut halaqah, yang
sekarang kita kenal dengan sistem bandongan.
Kaum sufi yang mempunyai kecenderungan untuk mensucikan
diri, kemudian mendirikan zawiyah di tempat-tempat yang jauh dari
keramaian, untuk kemudian membentuk kelompok masyarakat baru, dengan suatu cara
hidup yang zuhud. Kelompok-kelompok tersebut berupaya untuk mensucikan diri dan
menghindarkan diri dari tempat keramaian. Nama kelompok baru tersebut dikenal
gilda. Kelompok bangunan dengan masjid sebagai sentralnya, rumah-rumah kecil
yang ada di dalam gilda tersebut dikenal funduq, yaitu tempat para
murid menginap dan bertempat tinggal selama masa belajar.
Apabila zawiyah sama dengan pesantren, makafunduq adalah
pondoknya.
Zamakhsyari Dhofir mengemukakan bahwa pondok
berassal dari bahasa Arab, “funduq” yang berarti hotel atau asrama.[3] Sedangkan
pesantren berasal dari kata santri (dengan awalan pe- dan akhiran –an),
kemudian dijelaskan oleh C.C. Breeg. Istilah santri berasal dari kata shastri,
yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama.[4] Sedang
menurut Dawam Raharjo, pondok pesantren dalam lembaga pendidikan Islam dengan
kyai sebagai tokoh sentralnya dan masjid sebagai pusat lembaganya.[5] Sedangkan
menurut pendapat lain, seperti M. Yacub, bahwa pondok pesantren bermula dari
asal dua kata yaitu “pondok” dan “pesantren”. Sedangkan pondok berasal dari
istilah “funduk” berasal dari bahasa Arab yang artinya hotel atau
asrama. Sedang pesantren berasal dari kata “santri” yang memakai awalan “pe”
dan akhiran ‘an” yang berarti tempat tinggal para santri.[6]
Beliau menjelaskan pula bahwa “pesantren adalah
lembaga pendidikan Islam yang umumnya dengan cara klasikal, pengajarnya seorang
yang menguasai ilmu agama Islam melalui kitab-kitab agama Islam yang klasik
(kitab kuning dengan tulisan Arab dalam bahasa Melayu Kuno atau dalam bahasa
Arab). Kitab-kitab itu biasanya hasil karya ulama-ulama Islam dalam zaman
pertengahan”.[7]
Pendapat di atas, mengartikan bahwa pada dasarnya
pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam, dimana kyai berperan
sebagai tokohnya, karena beranggapan kyai mempunyai ilmu pengetahuan yang
tinggi dan dijadikan sebagai sentral figurnya. Peranan kyai menurut Horokoshi
(1987), karena berakar pada, Pertama, mempunyai kreadibilitas moral, Kedua,
kemampuan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan.[8] Dengan
kreadibilitas moral itu dibina calon kyai antara lain dengan memperlihatkan
kealiman pemilikan pengetahuan agama, kemampuan membaca kitab kuning, kesalihan
prilaku (termasuk ketata ritual), memberikan pelayanan kepada masyarakat
(khususnya masyarakat muslim).
Bila akar kekuasaan kyai seperti yang diuraikan di
atas itu diakui, maka dapatlah kita membuat elemen pesantren menjadi lebih
lengkap, yaitu ada pondok, masjid, kyai, dan santri. Namun keberadaan pesantren
pada awalnya bermula dari datangnya agama Islam masuk ke Indonesia, dan dapat
mendokumentasikan berbagai peristiwa sejarah bangsa Indonesia. Hal ini sesuai
dengan yang diungakapkan Hanun Asrohah, bahwa secara historis pesantren telah menyimpan
sejarah sosial budaya masyarakat Islam, ekonomi maupun politik bangsa
Indonesia.[9]
Di sisi lain hakikat berdirinya pesantren di
Indonesia banyak didukung oleh kebutuhan masyarakat di lingkungannya, karena
beranggapan masyarakat sangat membutuhkan ilmu agama secara mendalam yang hanya
dikuasai kyai. Dengan demikian muncullah salah satu lembaga pendidikan Islam
yang bercorak tradisional yaitu pesantren. Peranan pesantren dewasa ini dapat
memegang sebagai kekuatan sosiokultural dalam kehidupan sehari-hari, oleh
karena itu pesantren dikatakan sebagai sebuah sub-kultural.
Usaha untuk mengenali pesantren menurut Kafrawi,
dibagi menjadi empat pola, diantaranya:
1.
Pesantren memiliki unit kegiatan dan
elemen berupa masjid dan rumah kyai.
2.
Pesantren yang ditambah dengan adanya
madrasah.
3.
Pesantren yang mempunyai sistem klasik.
4.
Pesantren yang mempunyai unit
ketrampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, kolam ikan,
dan lain-lain.[10]
Usaha Kafrawi ini cukup penting dipertimbangkan
dalam rangka mengidentifikasi pesantren, juga dapat dijadikan sebagai salah
satu alternative acuan dalam pengembangan pesantren.
B. Tujuan Pendidikan Pesantren
Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya
yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas, pesantren
terutama pesantren-pesantren lama biasanya tidak merumuskan secara eksplisit
dasar dan tujuan pendidikannya. Namun bukan berarti bahwa pendidikan pesantren
itu berlangsung tanpa arah yang dituju, hanya saja tujuan itu tidak dirumuskan
secara sistematis dan dinyatakan secara eksplisit. Hal ini ada hubungannya
dengan sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan dorongan berdirinya di
mana kyai mengajar dan santri belajar adalah semata-mata untuk ibadah dan tidak
pernah dikaitkan dengan orientasi tertentu dalam lapangan penghidupan atau
tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki sosial atau birokrasi kepegawaian.
Tujuan pendidikan yang diselenggarakan dapat
diketahui dengan jalan menanyakan langsung kepada penyelenggara dan pengasuh
pesantren atau dengan memahami fungsi-fungsi yang dilaksanakan baik dalam
hubungannya dengan para santri maupun dengan masyarakat sekitarnya. Dengan
demikian dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan pesantren diantaranya adalah:
1.
Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran
Islam.
2.
Memiliki kebebasan yang terpimpin.
3.
Berkemampuan mengatur diri sendiri.
4.
Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.
5.
Menghormati orang tua dan guru.
6.
Cinta kepada ilmu.
7.
Kemandirian.
8.
Kebersahajaan.[11]
Dari rumusan tujuan tersebut tampak jelas bahwa
pendidikan pesantren sangat menekankan urgensi tegaknya Islam di tengah-tengah
kehidupan sebagai sumber utama moral yang merupakan kunci keberhasilan hidup
bermasyarakat. Disamping itu pesantren mempunyai fungsi tempat penyebaran dan
penyiaran agama Islam. Hal ini dapat kita ketahui dari sejarah berdirinya
pesantren-pesantren pada generasi awal dimana tujuan para kyai mendirikan
pesantren adalah sebagai tempat mensyiarkan agama Islam dan menyiapkan
guru-guru yang akan meneruskan usaha kyai di kalangan umat.
C. Nilai-Nilai Pendidikan Pemikiran
Pesantren
Gagasan pokok yang dijadikan dasar dalam
pengembangan nilai-nilai pesantren dalam pendidikan Islam yaitu agar menjadikan
jalan bagi seorang muslim yang bertaqwa, berakhlak mulia, dan
sebagai warga yang baik, sanggup menyesuaikan diri di dalam masyarakat, bertanggung
jawab, memiliki ketrampilan, kemampuan pengetahuan yang baik, di bidang
pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Keunikan yang terdapat di pesantren ialah sistem
nilai yang dimainkan sebagaimana yang diinginkan komunitas pesantren demi
kepentingan masyarakat pada umumnya. Sistem nilai pesantren menggunakan
nilai-nilaibarokah sebagaimana diungkapkan Abdurrahman Wachid nilai yang
dilestarikan pondok pesantren adalah doktrin barokah yang merupakan pancaran
kyai atau ulama pada santrinya. [12] Sedang
menurut Nurcholis Majid sistem nilai yang digunakan pesantren ialah yang
berakar dari agama Islam. [13]
Nilai-nilai yang dikembangkan di pesantren adalah
nilai-nilai moralitas yang dikembangkan dari kaidah-kaidah Islam untuk
mensucikan dan membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela sebagai ajaran dasar
Islam dan juga jalan untuk memperoleh kedekatan dan keridloan Allah.
Nilai-nilai ini tidak dapat dihasilkan oleh
lembaga-lembaga lainnya, hanya di pesantren sendiri yang menghasilkan
nilai-nilai akhlak yang dapat dirasakan oleh kalangan santrinya. Esensi
moralitas mencerminkan ketauhidan kepada Allah Swt, sehingga jelaslah pesantren
dapat bertahan untuk mendidik, menanamkan nilai-nilai ajaran Islam, dan lebih
dari itu pesantren mampu membentuk manusia yang mempunyai moralitas.
D. Pesantren Dahulu Dan Kini
1.
Pondok
Pesantren Dahulu
Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di
Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah
padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para
santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di
antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya
pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan
studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing.
Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka
dapatkan di Pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik
segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal
itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu.
Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki
para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan
guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa
kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk
keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari
para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya
dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti
lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti
fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka
mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di
antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal
itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak
dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan
materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan
dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar
menyebut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih
orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan
keinginan santri atau keputusan sang kyai bila dipandang santri telah cukup
menempuh studi padanya. Biasanya sang kyai menganjurkan santri tersebut untuk
nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para
santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang
ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek)
dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak
ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan
sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini
telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih
dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi
pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu
Ireng Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Kempek, Pesantren
Gedongan, Pesantren Babakan Di wilayah Cirebon.
2.
Pesantren
Kini
Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia
dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan
kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan
kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak
menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel
muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim.
Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada -yang justru menjadi
cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan
pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.
Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada
bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di
perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian
santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel
yang sarungan dan sorogan.
Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju
menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak
beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk
mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman.
Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi Bahasa Inggris menjadi pelajaran
utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti
perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.
Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren
yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di
antaranya: tidak bermadzhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang
kyai yang tidak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan
Bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan Bahasa Arab dan Inggris
sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan
lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunyai empat prinsip, yaitu: berbudi
tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas. Model
Pesantren Gontor juga di adopsi oleh beberapa pesantren di Indonesia misalnya
Ma’had Al-Zaytun Di Indramayu, dan Pesantren Bobos di wilayah Cirebon.
Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada
gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan
duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemerintah
maupun swasta. Bila madzhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang
kemerdekaan dan mereka yang memenuhi kebutuhan lokal,
maka Gontor telah memenuhi kebutuhan praksis di negeri ini. Atas
dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua
pase; pase Ampel atau salaf dan pase Gontor atau kholaf.
Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih
unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost),
pemenuhan kebutuhan hamalatul Qur’an, penanaman nilai-nilai
tradisional dan kebersahajaan dan wira’i masih dikuasai alumni
madzhab Ampel atau salafiyah dibanding alumni madzhab Gontor. Sehingga
muncullah pesantren-pesantren yang menggabungkan dan mengawinkan kedua madzhab
tersebut, menjadi sebuah pesantren yang mengambil sisi positif dari model
kholaf dan sisi positif dari model salaf. Sehingga diharapkan mampu
menghasilkan alumnus yang bisa menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.
Model pesantren seperti ini di kembangkan di
Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dimana fasilitas santri yang memadai didukung
dengan adanya sekolah-sekolah formal yang terintegrasi dengan pesantren di
bawah naungan kementrian agama juga masih mengembangkan khazanah keIslaman
klasik dengan icon penghafal al-Qur’an. Dimana KH. Munawwir sebagai
pendiri pesantren tersebut adalah Sanad mutawatir (periwayatan dalam Al-qur’an)
se Asia Tenggara. Model Pesantren seperti ini juga di kembangkan oleh Pesantren
Khusnul Khotimah di wilayah Kuningan Jawa Barat.
E. Landasan Filosofis Pemikiran
Pendidikan Pesantren.
Pilihan pada bidang pendidikan yang digeluti
pesantren selama ini tak lepas dari pemahaman komunitas pesantren tentang
Islam. Dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat yang secara langsung maupun tidak
langsung berbicara tentang pendidikan seperti surat al-Alaq (96): 1-5.
Artinya:
1. Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia dari
segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Ayat di atas isinya penuh dengan muatan pendidikan
yang sangat mendasar. Dalam surat ini tampak jelas, tegas, dan lugas perintah
Allah untuk membaca. Membaca secara harfiyah maupun maknawiyah merupakan sebuah
aktivitas pendidikan yang sangat penting. Sementara itu Nabi Muhammad
memberikan keteladanan yang sangat baik tentang tata cara bermoral dan ber etika.
F.
Kajian Pendidikan Islam Di Pesantren
Kajian Pendidikan
Islam di pesantren memang berbeda dengan di perguruan tinggi. Lembaga pedidikan
pesantren tidak saja mengantarkan para santrinya menjadi alim, tetapi
juga menjadi shaleh. Bahkan yang lebih ditekankan bagi pendidikan
pesantren adalah ketinggian akhlak. Oleh karena itu, konsep yang selalu muncul
di pesantren adalah yang terkait dengan akhlak itu. Konsep dimaksudkan itu
misalnya tentang tawadhu’, tha’att, berkah, ridha, khurmah, sabar, ihlas,
tawakkal, amanah, dan sejenisnya.
Kajian mengenai
pendidikan Islam di pesantren biasanya menggunakan kitab tertentu, dan juga ada
yang mengkaji kitab yang ditulis oleh kyai sendiri. Namun memang belum
begitu banyak pengasuh pesantren atau kyai yang menulis kitab,
sehingga banyak pesantren yang kajiannya menggunakan kitab standard yang
dikarang oleh ulama terkenal, sepertimisalnya Imam al Ghazali dengan
kitabnya ihya’ ulumuddin.
Apapun kajian yang
dilakukan oleh kyai di pesantren, ternyata berhasil
melahirkan orang-orang yang cukup kapabel di
dalam memberikan bimbingan keagamaan di tengah-tengah masyarakat.
Biasanya alumni pesantren dalam menjalankan peran-peran bimbingan keagamaan di
tengah masyarakat lebih unggul dibanding lulusan pendidikan formal, atau bahkan
perguruan tinggi sekalipun. Pelatihan kepemimpinan dan juga pendidikan yang
menekankan kemandirian di pesantren berhasil mengantarkan lulusannya memiliki kelebihan
dalam menjalankan peran-peran di tengah masyarakatsebagaimana dimaksudkan itu.
Hal yang menggembirakan
bahwa beberapa pesantren tertentu menjadi masyhur oleh karena
keberhasilan di dalam mengembangkan keilmuannya. Misalnya, dahulu orang
tertarik belajar ke pesantren Lirboyo Kediri, oleh karena kyainya memiliki
kelebihan di bidang Tata Bahasa Arab. Seseoarng memilih mengirimkan
anaknya ke pesantren di Jombang dengan alasan ingin mengkaji ilmu tafsir dan
hadits. Orang datang ke pesantren di Pasuruan, oleh karena ingin
mendalami ilmu tasawwuf, atau ke Pesantren Syalafiyah as
Syafiiyah Asem Bagus, Situbondo, untuk mendalami ilmu fiqh,
dan lain-lain.
Gambaran seperti
dimaksudkan itu menunjukkan bahwa kajian Islam di pesantren, sekalipun mungkin
tidak dirancang sebelumnya, tetapi kyainya berhasil mengembangkan
bidang-bidang ilmu
tertentu hingga menonjol dibanding
pesantren lainnya. Para calon satri tatkala mau belajar ke pesantren sudah
memiliki kepastian tentang ilmu yang akan dipelajari. Dengan
demikian, menjadi terasa dan jelas sekali bahwa orang-orang
yang belajar ke pesantren adalah benar-benar
bertujuan untuk mendapatkan ilmu dan bukan sebatas ijazah
sebagaimana yang banyak terjadi, tatkala belajar di lembaga
pendidikan formal.
Jumlah pesantren di
Indonesia cukup banyak dan perkembangannya sedemikian cepat. Data tentang
pesantren selalu dinamis, tidak pernah menunjukkan secara tepat oleh
karena tidak mudah menginventarisasi lembaga pendidikan itu. Oleh karena
keberadaanpesantren itu tumbuh dari masyarakat sendiri, maka
pemerintah tidak mudah sekalipun hanya mendata lembaga pendidikan itu.[14]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Akhir dari uraian
pembahasan makalah tentang kajian pendidikan Islam di pondok pesantren ini
dapat disimpulkan bahwa pemikiran pendidikan yang ada di Indonesia banyak di
pengaruhi oleh pemikiran pesantren yang beerlandaskan kearifan lokal dan klasik
dan khas Indonesia
Pesantren
di Indonesia dengan berbagai corak dan bentuknya telah banyak
mempengaruhi pemikiran pendidikan di Indonesia ini merupakan fakta yang tak
terbantahkan bahwa penanaman nilai-nilai di pesantren sampai saat ini terbukti
mampu mempertahankan anak bangsa dari erosi dan dekadensi moral.
Pembentukan jati diri
manusia yang berakhlakul karimah demi terwujudnya insan paripurna merupakan
salah satu misi pemikiran pesantren. Sikap tulus, sabar, tawakal, tawadu
(hormat), jujur serta mandiri, semuanya merupakan nilai yang ditanamkan di
pesantren. Semuanya merupakan nilai yang ditanamkan pesantren. Manusia-manusia
type tersebut saat ini sungguh langka ditemukan. Padahal hanya jiwa yang
terpatri dengan nilai-nilai mulia itulah bangsa ini akan terselamatkan dari
korupsi, manipulasi, kolusi, serta penyakit-penyakit lain yang menyeret bangsa
ini ke dalam krisis yang berkepanjangan.
Pemikiran pendidikan
pesantren sangat memberi corak pada peradaban Indonesia. Semoga
dengan ruhiyah pesantren Indonesia menjadi lebih baik sekarang dan
masa yang akan datang. Semoga. Amiin
DAFTAR
PUSTAKA
Wachid, Abdurahman, Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Raharjo, Dawam, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974)
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999)
Horokoshi, Kyai
dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987)
Kafrawi, Pembaharuan
Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan
Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1986)
Mastuhu, Memberdayakan
Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Yacub, M, Pondok
Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung: Angkasa, 1993)
Majid, Nurcholis. Bilik-Bilik Pesantren sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,
1997)
Aqil Siroj, Said. Tasawuf: Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan, 2006)
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dhofir, Zamaksyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1985)
Internet:
Imam
Suprayogi. 2014. Kajian Islam di Beberapa
Jenis Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Diakses melalui:
http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4752:kajian-islam-di-beberapa-jenis-lembaga-pendidikan-islam-di-indonesia&catid=25:artikel-imam-suprayogo.
Pada tanggal 2 Januari 2015.
[1] Said Aqil Siroj, Tasawuf: Sebagai Kritik Sosial, (Bandung:
Mizan, 2006), cet. ke-1, h. 231
[2] UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas).
[3] Zamaksyari
Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi
Tentang Pandangan Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 18
[4] Ibid
[5] Dawam
Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta:
LP3ES, 1974), h. 82
[6] M. Yacub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat
Desa, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 65
[7] Ibid
[8] Horokoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. 169
[9] Hanun
Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos, 1999), h. 183
[10] Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok
Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan
Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1986), h. 41-46
[11] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 80-81
[12] Abdurahman Wachid, Pesantren Masa Depan, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999), h. 18
[13] Nurcholis
Majid, Bilik-Bilik Pesantren sebuah
Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 31
[14] Imam Suprayogi. 2014. Kajian Islam di Beberapa Jenis Lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia. Diakses melalui:
http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4752:kajian-islam-di-beberapa-jenis-lembaga-pendidikan-islam-di-indonesia&catid=25:artikel-imam-suprayogo.
Pada tanggal 2 Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar