Minggu, 19 April 2015

MAKALAH PENDEKATAN KAJIAN ISLAM DI PESANTREN

MAKALAH PENDEKATAN KAJIAN ISLAM DI PESANTREN



BAB I
PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keIslaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat. negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Fakta yang tak terbantahkan bahwa alumnus pesantren mampu bersaing di kancah peradaban  sebut saja Gusdur,  cendikia Nurkholis Majdid, dan masih banyak tokoh lainnya.
Sejarah juga mencatat bahwa pesantren adalah benteng pertahanan terakhir bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari jasa para ulama alumni pesantren. Begitu pula, komunitas pesantren punya andil besar dalam mengatasi pemberontakan komunis dan kaum sparatis pengacau republik Indonesia. Bagi umat Islam Indonesia, melalui pesantrenlah mereka berharap kontinuitas dakwah Islam terus berlanjut.  Hilangnya pesantren berarti lenyap pula Agamawan (ulama) serta orang-orang shaleh. Jika demikian tinggal menunggu sirnanya agama tersebut. Sungguhpun saat ini telah menjamur sejumlah institusi pendidikan formal yang berlabelkan Islam, output nya ternyata tak mampu melahirkan para ulama yang bisa dikatakan sebagai warosatul Anbiya’[1]
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan menempuh produktifitas di segala sektor kehidupan, bahkan untuk menanamkan life skillkepada generasi muda sebagai penerus pelaksana pendidikan seutuhnya di Indonesia.[2] Dalam praktek masyarakat ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ini, baik dari segi materiil dan moril. Dan pesantren punya andil besar dalam pendidikan  di Indonesia. Berikut akan di paparkan menganai kajian pendidikan Islam di pendidikan pondok pesantren di Indonesia tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Latar Belakang Pesantren
Sebelum menyampaikan beberapa pendapat tentang pengertian pondok pesantren, terlebih dahulu penulis mengemukakan asal mula keberadaan pondok pesantren. Istilah pesantren pada mulanya, lebih dikenal di pulau Jawa, karena pengaruh istilah pendidikan Jawa kuno di mana dikenal sistem pendidikan dan perguruan, dengan kyai dan santri hidup bersama. Untuk di daerah Sumatra, lebih dikenal dengan istilahzawiyah (pemondokan) yang fungsinya untuk menampung para fakir yang hendak melakukan wirid.
Zawiyah secara harfiyah berarti sudut, yaitu sudut masjid, tempat orang suka berkerumun mengadakan pengajian. Kerumunan orang-orang yang belajar agama di zawiyah disebut halaqah, yang sekarang kita kenal dengan sistem bandongan.
Kaum sufi yang mempunyai kecenderungan untuk mensucikan diri, kemudian mendirikan zawiyah di tempat-tempat yang jauh dari keramaian, untuk kemudian membentuk kelompok masyarakat baru, dengan suatu cara hidup yang zuhud. Kelompok-kelompok tersebut berupaya untuk mensucikan diri dan menghindarkan diri dari tempat keramaian. Nama kelompok baru tersebut dikenal gilda. Kelompok bangunan dengan masjid sebagai sentralnya, rumah-rumah kecil yang ada di dalam gilda tersebut dikenal funduq, yaitu tempat para murid menginap dan bertempat tinggal selama masa belajar. Apabila zawiyah sama dengan pesantren, makafunduq adalah pondoknya.
Zamakhsyari Dhofir mengemukakan bahwa pondok berassal dari bahasa Arab, “funduq” yang berarti hotel atau asrama.[3] Sedangkan pesantren berasal dari kata santri (dengan awalan pe- dan akhiran –an), kemudian dijelaskan oleh C.C. Breeg. Istilah santri berasal dari kata shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama.[4] Sedang menurut Dawam Raharjo, pondok pesantren dalam lembaga pendidikan Islam dengan kyai sebagai tokoh sentralnya dan masjid sebagai pusat lembaganya.[5] Sedangkan menurut pendapat lain, seperti M. Yacub, bahwa pondok pesantren bermula dari asal dua kata yaitu “pondok” dan “pesantren”. Sedangkan pondok berasal dari istilah “funduk” berasal dari bahasa Arab yang artinya hotel atau asrama. Sedang pesantren berasal dari kata “santri” yang memakai awalan “pe” dan akhiran ‘an” yang berarti tempat tinggal para santri.[6]
Beliau menjelaskan pula bahwa “pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang umumnya dengan cara klasikal, pengajarnya seorang yang menguasai ilmu agama Islam melalui kitab-kitab agama Islam yang klasik (kitab kuning dengan tulisan Arab dalam bahasa Melayu Kuno atau dalam bahasa Arab). Kitab-kitab itu biasanya hasil karya ulama-ulama Islam dalam zaman pertengahan”.[7]
Pendapat di atas, mengartikan bahwa pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam, dimana kyai berperan sebagai tokohnya, karena beranggapan kyai mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi dan dijadikan sebagai sentral figurnya. Peranan kyai menurut Horokoshi (1987), karena berakar pada, Pertama, mempunyai kreadibilitas moral, Kedua, kemampuan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan.[8] Dengan kreadibilitas moral itu dibina calon kyai antara lain dengan memperlihatkan kealiman pemilikan pengetahuan agama, kemampuan membaca kitab kuning, kesalihan prilaku (termasuk ketata ritual), memberikan pelayanan kepada masyarakat (khususnya masyarakat muslim).
Bila akar kekuasaan kyai seperti yang diuraikan di atas itu diakui, maka dapatlah kita membuat elemen pesantren menjadi lebih lengkap, yaitu ada pondok, masjid, kyai, dan santri. Namun keberadaan pesantren pada awalnya bermula dari datangnya agama Islam masuk ke Indonesia, dan dapat mendokumentasikan berbagai peristiwa sejarah bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan yang diungakapkan Hanun Asrohah, bahwa secara historis pesantren telah menyimpan sejarah sosial budaya masyarakat Islam, ekonomi maupun politik bangsa Indonesia.[9]
Di sisi lain hakikat berdirinya pesantren di Indonesia banyak didukung oleh kebutuhan masyarakat di lingkungannya, karena beranggapan masyarakat sangat membutuhkan ilmu agama secara mendalam yang hanya dikuasai kyai. Dengan demikian muncullah salah satu lembaga pendidikan Islam yang bercorak tradisional yaitu pesantren. Peranan pesantren dewasa ini dapat memegang sebagai kekuatan sosiokultural dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu pesantren dikatakan sebagai sebuah sub-kultural.
Usaha untuk mengenali pesantren menurut Kafrawi, dibagi menjadi empat pola, diantaranya:
1.      Pesantren memiliki unit kegiatan dan elemen berupa masjid dan rumah kyai.
2.      Pesantren yang ditambah dengan adanya madrasah.
3.      Pesantren yang mempunyai sistem klasik.
4.      Pesantren yang mempunyai unit ketrampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, kolam ikan, dan lain-lain.[10]
Usaha Kafrawi ini cukup penting dipertimbangkan dalam rangka mengidentifikasi pesantren, juga dapat dijadikan sebagai salah satu alternative acuan dalam pengembangan pesantren.

B.     Tujuan Pendidikan Pesantren
Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas, pesantren terutama pesantren-pesantren lama biasanya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Namun bukan berarti bahwa pendidikan pesantren itu berlangsung tanpa arah yang dituju, hanya saja tujuan itu tidak dirumuskan secara sistematis dan dinyatakan secara eksplisit. Hal ini ada hubungannya dengan sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan dorongan berdirinya di mana kyai mengajar dan santri belajar adalah semata-mata untuk ibadah dan tidak pernah dikaitkan dengan orientasi tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki sosial atau birokrasi kepegawaian.
Tujuan pendidikan yang diselenggarakan dapat diketahui dengan jalan menanyakan langsung kepada penyelenggara dan pengasuh pesantren atau dengan memahami fungsi-fungsi yang dilaksanakan baik dalam hubungannya dengan para santri maupun dengan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan pesantren diantaranya adalah:
1.      Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam.
2.      Memiliki kebebasan yang terpimpin.
3.      Berkemampuan mengatur diri sendiri.
4.      Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.
5.      Menghormati orang tua dan guru.
6.      Cinta kepada ilmu.
7.      Kemandirian.
8.      Kebersahajaan.[11]
Dari rumusan tujuan tersebut tampak jelas bahwa pendidikan pesantren sangat menekankan urgensi tegaknya Islam di tengah-tengah kehidupan sebagai sumber utama moral yang merupakan kunci keberhasilan hidup bermasyarakat. Disamping itu pesantren mempunyai fungsi tempat penyebaran dan penyiaran agama Islam. Hal ini dapat kita ketahui dari sejarah berdirinya pesantren-pesantren pada generasi awal dimana tujuan para kyai mendirikan pesantren adalah sebagai tempat mensyiarkan agama Islam dan menyiapkan guru-guru yang akan meneruskan usaha kyai di kalangan umat.

C.    Nilai-Nilai Pendidikan Pemikiran Pesantren
Gagasan pokok yang dijadikan dasar dalam pengembangan nilai-nilai pesantren dalam pendidikan Islam yaitu agar menjadikan jalan bagi seorang muslim yang bertaqwa,  berakhlak mulia, dan sebagai warga yang baik, sanggup menyesuaikan diri di dalam masyarakat, bertanggung jawab, memiliki ketrampilan, kemampuan pengetahuan yang baik, di bidang pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Keunikan yang terdapat di pesantren ialah sistem nilai yang dimainkan sebagaimana yang diinginkan komunitas pesantren demi kepentingan masyarakat pada umumnya. Sistem nilai pesantren menggunakan nilai-nilaibarokah sebagaimana diungkapkan Abdurrahman Wachid nilai yang dilestarikan pondok pesantren adalah doktrin barokah yang merupakan pancaran kyai atau ulama pada santrinya. [12] Sedang menurut Nurcholis Majid sistem nilai yang digunakan pesantren ialah yang berakar dari agama Islam. [13]
Nilai-nilai yang dikembangkan di pesantren adalah nilai-nilai moralitas yang dikembangkan dari kaidah-kaidah Islam untuk mensucikan dan membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela sebagai ajaran dasar Islam dan juga jalan untuk memperoleh kedekatan dan keridloan Allah.
Nilai-nilai ini tidak dapat dihasilkan oleh lembaga-lembaga lainnya, hanya di pesantren sendiri yang menghasilkan nilai-nilai akhlak yang dapat dirasakan oleh kalangan santrinya. Esensi moralitas mencerminkan ketauhidan kepada Allah Swt, sehingga jelaslah pesantren dapat bertahan untuk mendidik, menanamkan nilai-nilai ajaran Islam, dan lebih dari itu pesantren mampu membentuk manusia yang mempunyai moralitas.

D.    Pesantren Dahulu Dan Kini
1.      Pondok Pesantren Dahulu
Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi  fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar menyebut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng  Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Kempek, Pesantren Gedongan, Pesantren Babakan Di wilayah Cirebon.

2.      Pesantren Kini
Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada -yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.
Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan.
Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi Bahasa Inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.
Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak bermadzhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang kyai yang tidak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan Bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan Bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunyai empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas. Model Pesantren Gontor juga di adopsi oleh beberapa pesantren di Indonesia misalnya Ma’had Al-Zaytun Di Indramayu, dan Pesantren Bobos di wilayah Cirebon.
Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Bila madzhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan  dan mereka yang  memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan  praksis di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel atau salaf dan pase Gontor atau kholaf.
Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost), pemenuhan kebutuhan hamalatul Qur’an, penanaman nilai-nilai tradisional dan kebersahajaan dan wira’i masih dikuasai alumni madzhab Ampel atau salafiyah dibanding alumni madzhab Gontor. Sehingga muncullah pesantren-pesantren yang menggabungkan dan mengawinkan kedua madzhab tersebut, menjadi sebuah pesantren yang mengambil sisi positif dari model kholaf dan sisi positif dari model salaf. Sehingga diharapkan mampu menghasilkan alumnus yang bisa menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.
Model pesantren seperti ini di kembangkan di Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dimana fasilitas santri yang memadai didukung dengan adanya sekolah-sekolah formal yang terintegrasi dengan pesantren di bawah naungan kementrian agama juga masih mengembangkan khazanah keIslaman klasik dengan icon penghafal al-Qur’an. Dimana KH. Munawwir sebagai pendiri pesantren tersebut adalah Sanad mutawatir (periwayatan dalam Al-qur’an) se Asia Tenggara. Model Pesantren seperti ini juga di kembangkan oleh Pesantren Khusnul Khotimah di wilayah Kuningan Jawa Barat.

E.     Landasan Filosofis Pemikiran Pendidikan Pesantren.
Pilihan pada bidang pendidikan yang digeluti pesantren selama ini tak lepas dari pemahaman komunitas pesantren tentang Islam. Dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat yang secara langsung maupun tidak langsung berbicara tentang pendidikan seperti surat al-Alaq (96): 1-5.


Artinya:
1.  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.  Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.  Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.  Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5.  Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Ayat di atas isinya penuh dengan muatan pendidikan yang sangat mendasar. Dalam surat ini tampak jelas, tegas, dan lugas perintah Allah untuk membaca. Membaca secara harfiyah maupun maknawiyah merupakan sebuah aktivitas pendidikan yang sangat penting. Sementara itu Nabi Muhammad memberikan keteladanan yang sangat baik tentang tata cara bermoral dan ber etika.


F.     Kajian Pendidikan Islam Di Pesantren
Kajian  Pendidikan Islam di pesantren memang berbeda dengan di perguruan tinggi. Lembaga pedidikan pesantren  tidak saja mengantarkan para santrinya menjadi alim, tetapi juga menjadi shaleh.  Bahkan yang lebih ditekankan bagi pendidikan pesantren adalah ketinggian akhlak. Oleh karena itu, konsep yang selalu muncul di pesantren adalah yang terkait dengan akhlak itu. Konsep dimaksudkan itu misalnya  tentang tawadhu’, tha’att, berkah, ridha, khurmah, sabar, ihlas, tawakkal, amanah, dan sejenisnya.
Kajian mengenai pendidikan Islam di pesantren biasanya menggunakan kitab tertentu, dan juga ada yang mengkaji kitab yang ditulis oleh  kyai sendiri. Namun memang belum begitu banyak pengasuh pesantren atau kyai yang menulis kitab,  sehingga  banyak pesantren yang kajiannya menggunakan kitab standard yang dikarang oleh ulama terkenal, sepertimisalnya Imam al Ghazali dengan kitabnya  ihya’ ulumuddin.  
Apapun kajian yang dilakukan oleh kyai di pesantren, ternyata  berhasil melahirkan orang-orang  yang cukup kapabel di dalam memberikan  bimbingan keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Biasanya alumni pesantren dalam menjalankan peran-peran bimbingan keagamaan di tengah masyarakat lebih unggul dibanding lulusan pendidikan formal, atau bahkan perguruan tinggi sekalipun. Pelatihan kepemimpinan dan juga pendidikan yang menekankan kemandirian di pesantren berhasil mengantarkan lulusannya memiliki kelebihan dalam menjalankan peran-peran di tengah masyarakatsebagaimana dimaksudkan itu.
Hal yang menggembirakan bahwa beberapa pesantren tertentu menjadi masyhur oleh karena keberhasilan di dalam mengembangkan keilmuannya. Misalnya, dahulu orang tertarik belajar ke pesantren Lirboyo Kediri, oleh karena kyainya memiliki kelebihan di bidang  Tata Bahasa Arab. Seseoarng memilih mengirimkan anaknya ke pesantren di Jombang dengan alasan ingin mengkaji ilmu tafsir dan hadits. Orang  datang ke pesantren di Pasuruan, oleh karena ingin mendalami ilmu tasawwuf,  atau ke Pesantren Syalafiyah as Syafiiyah Asem Bagus, Situbondo,  untuk mendalami ilmu fiqh, dan  lain-lain.
Gambaran seperti dimaksudkan itu menunjukkan bahwa kajian Islam di pesantren, sekalipun mungkin tidak dirancang sebelumnya,  tetapi kyainya berhasil mengembangkan bidang-bidang ilmu tertentu   hingga  menonjol  dibanding pesantren lainnya. Para calon satri tatkala mau belajar ke pesantren sudah memiliki kepastian tentang ilmu yang akan dipelajari.  Dengan demikian,  menjadi  terasa dan jelas sekali bahwa orang-orang yang  belajar ke  pesantren  adalah  benar-benar bertujuan  untuk mendapatkan ilmu dan bukan sebatas ijazah sebagaimana  yang banyak  terjadi,  tatkala belajar di lembaga pendidikan formal.
Jumlah pesantren di Indonesia cukup banyak dan perkembangannya sedemikian cepat.  Data tentang pesantren selalu dinamis, tidak pernah menunjukkan  secara tepat oleh karena tidak mudah menginventarisasi lembaga pendidikan itu. Oleh karena keberadaanpesantren itu tumbuh  dari masyarakat sendiri, maka pemerintah tidak mudah sekalipun hanya mendata lembaga pendidikan itu.[14]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Akhir dari uraian pembahasan makalah tentang kajian pendidikan Islam di pondok pesantren ini dapat disimpulkan bahwa pemikiran pendidikan yang ada di Indonesia banyak di pengaruhi oleh pemikiran pesantren yang beerlandaskan kearifan lokal dan klasik dan khas Indonesia
Pesantren di  Indonesia dengan berbagai corak dan bentuknya telah banyak mempengaruhi pemikiran pendidikan di Indonesia ini merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa penanaman nilai-nilai di pesantren sampai saat ini terbukti mampu mempertahankan anak bangsa dari erosi dan dekadensi moral.
Pembentukan jati diri manusia yang berakhlakul karimah demi terwujudnya insan paripurna merupakan salah satu misi pemikiran pesantren. Sikap tulus, sabar, tawakal, tawadu (hormat), jujur serta mandiri, semuanya merupakan nilai yang ditanamkan di pesantren. Semuanya merupakan nilai yang ditanamkan pesantren. Manusia-manusia type tersebut saat ini sungguh langka ditemukan. Padahal hanya jiwa yang terpatri dengan nilai-nilai mulia itulah bangsa ini akan terselamatkan dari korupsi, manipulasi, kolusi, serta penyakit-penyakit lain yang menyeret bangsa ini ke dalam krisis yang berkepanjangan.
Pemikiran pendidikan pesantren sangat memberi corak pada peradaban Indonesia. Semoga dengan ruhiyah pesantren Indonesia menjadi lebih baik sekarang dan masa yang akan datang. Semoga. Amiin

DAFTAR PUSTAKA

Wachid, Abdurahman, Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Raharjo, Dawam, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974)
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999)
Horokoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987)
Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1986)
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Yacub, M, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung: Angkasa, 1993)
Majid, Nurcholis. Bilik-Bilik Pesantren sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997)
Aqil Siroj, Said. Tasawuf: Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan, 2006)
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dhofir, Zamaksyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985)
Internet:
Imam Suprayogi. 2014. Kajian Islam di Beberapa Jenis Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Diakses melalui: http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4752:kajian-islam-di-beberapa-jenis-lembaga-pendidikan-islam-di-indonesia&catid=25:artikel-imam-suprayogo. Pada tanggal 2 Januari 2015.


[1] Said Aqil Siroj, Tasawuf: Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan, 2006), cet. ke-1, h. 231
[2] UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
[3] Zamaksyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 18
[4] Ibid
[5] Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 82
[6] M. Yacub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 65
[7] Ibid
[8] Horokoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. 169
[9] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 183
[10] Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1986), h. 41-46
[11] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 80-81
[12] Abdurahman Wachid, Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 18
[13] Nurcholis Majid, Bilik-Bilik Pesantren sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 31
[14] Imam Suprayogi. 2014. Kajian Islam di Beberapa Jenis Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Diakses melalui: http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4752:kajian-islam-di-beberapa-jenis-lembaga-pendidikan-islam-di-indonesia&catid=25:artikel-imam-suprayogo. Pada tanggal 2 Januari 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar