MAKALAH PENDEKATAN KAJIAN KEBUDAYAAN ISLAM
BABI
PENDAHULUAN
Secara
umum studi Islam bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok
ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki,
universal dan dinamis serta abadi (eternal), untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan
dunia modern,agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan yang
dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dengan
tujuan tersebut, maka studi Islam akan menggunakan cara pendekatan yang
sekiranya relevan.[1]
Memahami
suatu agama diperlukan berbagai pendekatan diantaranya melalui pendekatan
teologis normatif, antopologis, sosiologis, historis, filosofis, dan
kebudayaan. Hal itu dilakukan agar melalui pendekatan tersebut kehadiran agama
secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya , tanpa
mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit
dipahami oleh masyarakat dan tidak fungsional.[2]
Berdasarkan
uraian diatas, maka dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai salah satu
dari pendekatan tesebut, yakni Pendekatan Kajian Kebudayaan Islam. Dengan
sub-sub masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Pengertian dan Unsur-Unsur Kebudayaan
2. Pendekatan Kebudayaan Terhadap Agama
3. Islam dan Budaya Indonesia
Adapun
tujuan dibuatnya makalah ini, agar dapat menjadi referensi bagi rekan-rekan
pembaca dalam memahami dan memaknai mengenai Pendekatan kajian kebudyaan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Unsur-Unsur Kebudayaan
Ada
tiga istilah yang semakna dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization, dan
kebudayaan. Term kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata cultura. Arti kultur adalah memelihara,
mengerjakan atau mengolah (S. Takdir Alisyahbana, 1986: 205). Soerjono Soekanto
(1993: 188) mengungkapkan hal yang sama. Namun ia menjelaskan lebih jauh bahwa
yang dimaksud dengan mengolah atau mengerjakan sebagai arti kultur adalah
mengolah tanah atau bertani. Atas dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan
kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
mengubah alam.[3]
Istilah
kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah sivilisasi. Sivilisasi (civilization)
berasal dari kata Latin, yaitu civis.
Arti kata civis adalah
warga negara (civitas: negara kota,
dan civilitas: kewarganegaraan). Oleh karena itu, S.Takdir Alisyahbana (1986:
206) menjelaskan bahwa sivilisasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih
progresif dan lebih halus. Dalam Bahasa Indonesia , peradapan dianggap sepadan
dengan civilization.
Berikut beberapa pengertian kebudayaan menurut S.Takdir Alisyahbana (1986: 207-8) :[4]
Berikut beberapa pengertian kebudayaan menurut S.Takdir Alisyahbana (1986: 207-8) :[4]
-
Kebudayaan
adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang
berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat
istiadat dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
-
Kebudayaan
adalah warisan sosial atau tradisi.
-
Kebudayaan
adalah cara, aturan, dan jalan hidup manusia.
-
Kebudayaan
adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan
persoalan.
-
Kebudayaan
adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
-
Kebudayaan
adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.
Unsur-unsur kebudayaan
dalam pandangan Malinowski adalah sebagai berikut :[5]
-
Sistem norma
yang memungkinkan terjadinya kerjasama antara para anggota masyarakat dalam
upaya menguasai alam sekelilingnya.
-
Organisasi
ekonomi.
-
Alat-alat dan
lembaga atau petugas pendidikan
-
Organisasi
kekuatan.
Dengan istilah teknis
yang berbeda tetapi sama dari segi substansi, sambil mengutip pendapat
Herskovits, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964) mengajukan empat
unsur kebudayaan, yaitu technological
equipment (alat-alat teknologi), economic system (sistem ekonomi), family (keluarga, dan political control (kekuasaan
politik).
Di samping itu,
terdapat unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal (cultural universal), karena dapat
dijumpai pada setiap kebudayaan yang ada di dunia ini. C. Kluckhohn, seorang
antropolog, telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu yang
disederhamanakan menjadi tujuh. Tujuh unsur yang dianggapnya
sebagai cultural universal adalah sebagai berikut:
-
Peralatan dan
perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi, dan alat-alat transportasi).
-
Mata pencaharian
hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, dan sistem
distribusi).
-
Sitem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan
sistem perkawinan).
-
Bahasa (lisan
dan tulisan).
-
Kesenian (seni
rupa, seni suara, dan seni gerak).
-
Sistem
pengetahuan.
-
Religi (sistem
kepercayaan).
Kebudayaan mempunyai
pengaruh yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Berbagai kekuatan yang
dihadapi manusia seperti kekuatan alam dan kekuatan-kekuatan lainnya tidak
selalu baik baginya. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau
kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat.
Teknologi paling sedikit meliputi tujuh unsur, yaitu alat-alat produktif,
senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung,
dan alat-alat transportasi.
B.
Pendekatan Kebudayaan Terhadap Agama
Konsep
mengenai kebudayaan yang dikemukakan seperti tersebut diatas itulah yang dapat
digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mendata dan mengkaji serta memahami
agama. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama
diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan
masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga masyarakat tersebut.
Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai
oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral
yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang
menjadi ciri dari kebudayaan.
Pada
waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita
lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat
manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al
Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat,
maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari
masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan
keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan
berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang
bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga
harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta
unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari
kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi nilai-nilai
budaya dari kebudayaan tersebut.
Bila
agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari
nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai
tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan
berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika
dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada
dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki
dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai
etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan
menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja.
Apakah
gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah
kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang
dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai
hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan
menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut
sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan
pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali
sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat
berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi
lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal
tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama
masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam
berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan
menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut
karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat
tersebut.
C.
Islam dan Budaya Indonesia
Dakwah Islam ke
Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaannya, maka Islam tidak lepas dari
budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam diIndonesia, dirasakan demikian
sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaan antara ajaran Islam dengan
kebudayaan Arab. Tumbuh kembangnya Islam di Indonesia diolah sedemikian
rupa oleh para juru dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui
bahasa maupun budaya seperti halnya dilakukan oleh para wali Allah di Pulau Jawa.
Para wali Allah tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran
dengan melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara
tidak sengaja dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat
mengemas dan berubah menjadi adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan
sehari-hari dan secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kebudayaan bangsa Indonesia, misalnya: setiap diadakan upacara-upacara adat
banyak menggunakan bahasa Arab (Al-Qur’an), yang sudah secara langsung masuk ke
dalam bahasa daerah dan Indonesia, hal tersebut tidak disadari bahwa sebenarnya
yang dilaksanakan tidak lain adalah ajaran-ajaran Islam.
Ajaran-ajaran Islam
yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal
melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada awalnya sebenarnya
dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat Islam dimanapun mereka
berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia bahwa segenap lapisan
masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang agama dan keyakinannya
secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu bulan
penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari
nilai-nilai ajaran Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara
sesama handai tolan dengan cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga
dapat terjalin suasana akrab dalam keluarga.
Berkaitan dengan
nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat dikemukakan
yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid
di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari
masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun, misal: masjid-masjid yang dibangun
oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan
bentuk joglo yang berseni budaya Jawa. Perkembangan budaya Islam yang terdapat
pada masjid, secara nyata dapat ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid
tua yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti
tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan
dinding sekat dengan tembok kayu.[6]
Peninggalan Islam yang
dapat kita saksikan hari ini merupakan perpaduan antara kebudayaan Islam dan
kebudayaan setempat. Hasil-hasil kebudayaan yang bercorak Islam dapat kita
temukan antara lain dalam bentuk bangunan (masjid, makam) dan seni :
a. Peninggalan
dalam Bentuk Bangunan
Bangunan yang menjadi ciri khas Islam
antara lain ialah masjid, istana/keraton, dan makam (nisan) :[7]
1. Masjid
Masjid
merupakan tempat salat umat Islam. Masjid tersebar di berbagai daerah. Namun,
biasanya masjid didirikan pada tepi barat alun-alun dekat istana. Alun-alun
adalah tempat bertemunya rakyat dan rajanya. Masjid merupakan tempat bersatunya
rakyat dan rajanya sebagai sesama mahkluk Illahi dengan Tuhan. Raja akan
bertindak sebagai imam dalam memimpin salat. Bentuk dan ukuran masjid
bermacam-macam. Namun, yang merupakan ciri khas sebuah masjid ialah atap
(kubahnya). Masjid di Indonesia umumnya atap yang bersusun, makin ke atas makin
kecil, dan tingkatan yang paling atas biasanya berbentuk limas. Jumlah atapnya
selalu ganjil. Bentuk ini mengingatkan kita pada bentuk atap candi yang
denahnya bujur sangkar dan selalu bersusun serta puncak stupa yang adakalanya
berbentuk susunan payung-payung yang terbuka. Dengan demikian, masjid
denganbentuk seperti ini mendapat pengaruh dari Hindu-Budha. Beberapa di antara
masjid-masjid khas Indonesia memiliki menara, tempat muadzin menyuarakan adzan
dan memukul bedug. Contohnya menara Masjid Kudus yang memiliki bentuk dan
struktur bangunan yang mirip dengan bale kul-kul di Pura Taman Ayun. Kul-kul
memiliki fungsi yang sama dengan menara, yakni memberi informasi atau tanda
kepada masyarakat mengenai berbagai hal berkaitan dengan kegiatan suci atau
yang lain dengan dipukulnya kul-kul dengan irama tertentu.
Peninggalan
sejarah Islam dalam bentuk masjid, dapat kita lihat antara lain pada beberapa
masjid berikut :
o Masjid Banten (bangun beratap tumpang)
o Masjid Demak (dibangun para wali)
o Masjid Kudus (memiliki menara yang bangun dasarnya
serupa meru)
o Masjid Keraton Surakarta, Yogyakarta, Cirebon
(beratap tumpang)
o Masjid Agung Pondok Tinggi (beratap tumpang)
o Masjid tua di Kotawaringin, Kalimantan Tengah
(dibangun ulama penyebar siar pertama di Kalteng)
o Masjid Raya Aceh, Masjid Raya Deli (dibangun zaman
Sultan Iskandar Muda)
2. Makam dan Nisan
Makam
memiliki daya tarik tersendiri karena merupakan hasil kebudayaan. Makam
biasanya memiliki batu nisan. Di samping kebesaran nama orang yang dikebumikan
pada makam tersebut, biasanya batu nisannya pun memiliki nilai budaya tinggi.
Makam yang terkenal antara lain makam para anggota Walisongo dan makam
raja-raja.
Pada
makam orang-orang penting atau terhormat didirikan sebuah rumah yang disebut
cungkup atau kubah dalam bentuk yang sangat indah dan megah. Misalnya, makam
Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sunan-sunan besar yang lain.
Peninggalan
sejarah Islam dalam bentuk makam dapat kita lihat antara lain pada beberapa
makam berikut.
o Makam Sunan Langkat (di halaman dalam masjid Azisi,
Langkat)
o Makam Walisongo
o Makam Imogiri (Yogyakarta)
o Makam Raja Gowa
Peninggalan sejarah
Islam dalam bentuk nisan dapat kita lihat antara lain pada beberapa nisan
berikut :
o Di Leran, Gresik (Jawa timur) terdapat batu nisan
bertuliskan bahasa dan huruf Arab, yang memuat keterangan tentang meninggalnya
seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475 Hijriah
(1082 M);
o Di Sumatra (di pantai timur laut Aceh utara)
ditemukan batu nisan Sultan Malik alsaleh yang berangka tahun 696 Hijriah (!297
M);
o Di Sulawesi Selatan, ditemukan batu nisan Sultan
Hasanuddin;
o Di Banjarmasin, ditemukan batu nisan Sultan Suryana
Syah; dan
o Batu nisan di Troloyo dan Trowulan.
b. Peninggalan
dalam Bentuk Karya Seni
Peninggalan Islam dapat juga kita temui
dalam bentuk karya seni seperti seni ukir, seni pahat, seni pertunjukan, seni
lukis, dan seni sastra. Seni ukir dan seni pahat ini dapat dijumpai pada
masjid-masjid di Jepara. Seni pertunjukan berupa rebana dan tarian, misalnya
tarian Seudati. Pada seni aksara, terdapat tulisan berupa huruf arab-melayu,
yaitu tulisan arab yang tidak memakai tanda (harakat, biasa disebut arab
gundul). Salah satu peninggalan Islam yang cukup menarik dalam seni tulis ialah
kaligrafi. Kaligrafi adalah menggambar dengan menggunakan huruf-huruf arab.
Kaligrafi dapat ditemukan pada makam Malik As-Saleh dari Samudra Pasai.
Karya sastra yang dihasilkan cukup
beragam. Para seniman muslim menghasilkan beberapa karya sastra antara lain
berupa syair, hikayat, suluk, babad, dan kitab-kitab. Syair banyak dihasilkan
oleh penyair Islam, Hamzah Fansuri. Karyanya yang terkenal adalah Syair Dagang,
Syair Perahu, Syair Si Burung Pangi, dan Syair Si Dang Fakir. Syair-syair
sejarah peninggalan Islam antara lain Syair Kompeni Walanda, Syair Perang
Banjarmasin, dan Syair Himop. Syair-syair fiksi antara lain Syair Ikan Terumbuk
dan Syair Ken Tambunan.
Hikayat adalah karya sastra yang berisi
cerita atau dongeng yang sering dikaitkan dengan tokoh sejarah. Peninggalan
Islam berupa hikayat antara lain, Hikayat Raja Raja Pasai, Hikayat Si Miskin
(Hikayat Marakarma), Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Hang
Tuah, dan Hikayat Jauhar Manikam.
Suluk adalah kitab-kitab yang berisi
ajaran-ajaran tasawuf. Peninggalan Islam berupa suluk antara lain Suluk Wujil,
Suluk Sunan Bonang, Suluk Sukarsa, Suluk Syarab al Asyiqin, dan Suluk Malang
Sumirang.
Babad adalah cerita sejarah tetapi banyak bercampur dengan mitos dan kepercayaan masyarakat yang kadang tidak masuk akal. Peninggalan Islam berupa babad antara lain Babad Tanah Jawi, Babad Sejarah Melayu (Salawat Ussalatin), Babad Raja-Raja Riau, Babad Demak, Babad Cirebon, Babad Gianti.
Adapun kitab-kitab peninggalan Islam antara lain Kitab Manik Maya, Us-Salatin Kitab Sasana-Sunu, Kitab Nitisastra, Kitab Nitisruti, serta Sastra Gending karya Sultan Agung.[8]
Babad adalah cerita sejarah tetapi banyak bercampur dengan mitos dan kepercayaan masyarakat yang kadang tidak masuk akal. Peninggalan Islam berupa babad antara lain Babad Tanah Jawi, Babad Sejarah Melayu (Salawat Ussalatin), Babad Raja-Raja Riau, Babad Demak, Babad Cirebon, Babad Gianti.
Adapun kitab-kitab peninggalan Islam antara lain Kitab Manik Maya, Us-Salatin Kitab Sasana-Sunu, Kitab Nitisastra, Kitab Nitisruti, serta Sastra Gending karya Sultan Agung.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ø Ada tiga istilah yang semakna dengan kebudayaan,
yaitu culture, civilization, dan kebudayaan. Term
kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata cultura. Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan atau mengolah.
Ø Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks
yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat
Ø Tujuh unsur cultural universal adalah sebagai
berikut:
o
Peralatan dan perlengkapan hidup
manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat
produksi, dan alat-alat transportasi).
o
Mata pencaharian hidup dan sistem
ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, dan sistem distribusi).
o
Sitem kemasyarakatan (sistem
kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan).
o
Bahasa (lisan dan tulisan).
o
Kesenian (seni rupa, seni suara,
dan seni gerak).
o
Sistem pengetahuan.
o
Religi (sistem kepercayaan).
Ø Pendekatan
Kajian Kebudayaan Islam : Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan
dan keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan
keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan
keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan.
Ø Dakwah
Islam ke Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaannya, maka Islam tidak
lepas dari budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam diIndonesia, dirasakan
demikian sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaan antara ajaran Islam dengan
kebudayaan Arab. Tumbuh kembangnya Islam di Indonesia diolah sedemikian
rupa oleh para juru dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui
bahasa maupun budaya. Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan
menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1
Syawal. Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang
lain, juga dapat dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama
ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia. Hasil-hasil kebudayaan yang
bercorak Islam dapat kita temukan antara lain dalam bentuk bangunan (masjid,
makam) dan seni.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin,
Prof. Dr, dkk , 2005. Kawasan dan
wawasan studi Islam , Jakarta: Prenada media.
Akhmad Taufik,
2004. Metodologi Studi Islam ,
Malang: Bayumedia Publishing
Atang, Abd.
Hakim, 1999. Metodologi Studi Islam,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hakim, Atang
Abd, Drs, Jaih Mubarok, 1999. Metodologi
Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet 1.
Afand. 2014
Peningggalan-Peninggalan Sejarah Bercorak Islam. Diakses dari : http://afand.cybermq.com/post/detail/2259/peninggalan-peninggalan-sejarah-bercorak-islam\.
Pada tanggal 8 Desember 2014 Pukul 14:52 WIB.
[1]
Muhaimin,
Prof. Dr, dkk ,Kawasan dan wawasan
studi Islam , Jakarta: Prenada media, 2005. hal 12
[2]
Akhmad Taufik, Metodologi Studi Islam , Malang:
Bayumedia Publishing, 2004. hal 13
[3]
Atang, Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1999. hal 27-29
[5]
Hakim, Atang Abd, Drs, Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, hal 43, cet 1.
[6]
Ibid. Hal 32-35.
[7]
Afand. 2014
Peningggalan-Peninggalan Sejarah Bercorak Islam. Diakses dari : http://afand.cybermq.com/post/detail/2259/peninggalan-peninggalan-sejarah-bercorak-islam\.
Pada tanggal 8 Desember 2014 Pukul 14:52 WIB.
[8]
Afand. 2014
Peningggalan-Peninggalan Sejarah Bercorak Islam. Diakses dari : http://afand.cybermq.com/post/detail/2259/peninggalan-peninggalan-sejarah-bercorak-islam\.
Pada tanggal 8 Desember 2014 Pukul 14:52 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar