BAB I
PENDAHULUAN
Di
era posmodernisme[1] ini
pembahasan mengenai “agama” kembali muncul ke permukaan. Bahkan, agama menjadi
sorotan utama (objek kajian yang paling diminati) oleh berbagai peneliti di
berbagai belahan dunia. Hal itu karena eksistensi agama yang dahulu diprediksi
akan tergilas oleh kekuatan ideologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, justru
semakin bersinar terang. Fenomena ini pada akhirnya mendorong penelitian ilmiah
terhadap agama. Pendekatan terhadap agama mengalami perkembangan signifikan.
Hal tersebut diindikasikan dengan pendekatan terhadap agama yang tidak hanya
memusatkan pada aspek teologis, tapi merambah pada disiplin ilmu-ilmu humaniora
lainnya.
Prof.Dr.Mukti
Ali, pada tahun 1970-an, mengatakan bahwa kita bisa meneliti agama, termasuk
Islam. Dengan kata lain, agama dapat dijadikan objek kajian (penelitian). Ada
lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau kita hendak mempelajari
suatu agama, termasuk Islam. Pertama,
scripture atau naskah-naskah (sumber
ajaran) dan simbol-simbol agama. Kedua,
para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan
penghayatan para penganutnya. Ketiga,
ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa,
perkawinan, dan waris. Keempat,
alat-alat, seperti, masjid, gereja, peci, loceng, dan lainnya. Kelima, kelompok-kelompok atau
organisasi-organisasi keagamaan, seperti Nahdatul Ulama, Katolik, Protestan, Muhammadiyah,
Sunni, Syi’ah, dan lain-lain.[2]
Oleh karena itu, penelitian keagamaan dapat mengambil salah satu dari lima
bentuk gejala ini.
Pada
makalah ini, penulis berencana mengangkat “pendekatan teologis” dalam studi
agama. Namun, kami hanya memfokuskan pada “pendekatan teologis dalam studi
agama Islam”. Adapun latar belakang kami memilih tema ini adalah karena
pendekatan teologis merupakan pendekatan yang paling esensial dalam mendekati
agama. Bahkan, dengan tegas Thomas Aquinas pernah berujar bahwa teologi adalah queen of science.[3]
Walaupun, pada kenyataannya kita tidak bisa memungkiri bahwa pendekatan
teologis merupakan pendekatan yang sudah usang dalam penelitian agama Islam.
Kini peneliti lebih tertarik untuk mengkaji agama (dalam hal ini agama Islam)
dengan menggunakan pendekatan antropologis, fenomenologis, feminis, sosiologis,
dan lainnya yang berkaitan dengan ilmu humaniora.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teologi Islam (Ilmu Kalam)
Teologi berasal dari kata Yunani, yakni
“logy” dan “theos”.
Dalam
bahasa Indonesia menjadi teologi. “Logy”
atau “logos” berarti “percakapan”,
“pengkajian” dan “penelitian”. Sedangkan “theos” berarti “Tuhan”
atau sesuatu yang berkenaan dengan Tuhan. Jadi, Teologi dalam bahasa Yunani
adalah penelitian secara rasional segala sesuatu yang berkenaan dengan ke-Tuhanan.
Dengan kata lain, teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari
pengetahuan tentang hakekat Tuhan serta keberadaan-Nya.
Pada hakekatnya, Ilmu Teologi membahas
berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan logika dan filsafat. Akan tetapi
secara teoritis khusus untuk aliran salaf tidak dapat dikelompokkan pada aliran
Ilmu Kalam sebab ia dalam masalah-masalah ketuhanan tidak menggunakan
argumentasi filsafat dan logika. Dan ia hanya cukup dikategorikan pada aliran
Ilmu Tauhid atau Ilmu Ushuluddin.
Dalam sejarah Islam, pergulatan
pemikiran dalam disiplin ilmu kalam atau teologi demikian polemis. Perdebatan
di bidang ini menyentuh bidang yang paling prinsip yakni soal keberimanan
seseorang terhadap Tuhan dan segala aspek yang berkaitan dengan hal tersebut.
Pada perkembangannya, di dalam teologi Islam dijumpai berbagai aliran kalam
atau teologi, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Khawarij, Murji’ah dan Syi’ah.[4]
Adapun pembahasan yang diusung dalam aliran teologi dalam dunia Islam
menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1.
Konsep Iman
2.
Konsep Keesaan
3.
Konsep Kehendak Mutlak
Tuhan
4.
Konsep Kehendak Bebas
Manusia
5.
Konsep Keadilan Tuhan
6.
Konsep Kasb Manusia
7.
Konsep Melihat Tuhan di
Akhirat
8.
Konsep Janji dan
Ancaman Tuhan
9.
Konsep Urgensi Wahyu
10. Konsep
Status al-Qur’an[5]
Para filosof lslam terdahulu menjadikan
Tuhan, alam dan manusia (Theo, cosmos
dan antrophos) sebagai alat untuk
menganalisa dirinya sendiri yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya. Sebab
dengan metode ini para ahli teologi tidak hanya membicarakan bagaimana
sesungguhnya manusia berbicara tentang Tuhan; teologi juga berbicara lebih jauh
tentang bentuk-bentuk ekpresi yang lebih baik dan ekpresi yang lebih buruk
serta mencari defenisi yang berimbang mengenai pembicaraan khusus tentang
Tuhan. Sementara itu, Jan Hendrik Rapar mengungkapkan bahwa teologi merupakan
salah satu cabang filsafat yang mempelajari dan mencari tahu tentang hakekat,
makna dan eksistensi Tuhannya dalam kehidupan keseharian, oleh sebab itu
pembicaraan tentang Tuhan menjadi tetap aktual setiap waktu yang tidak pernah
lesu.
B.
Pendekatan Teologis dalam Studi Agama
Islam
Seyyed Hossein Nasr mengungkapkan bahwa
dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu
pemikiran keagamaan fundamentalis,
modernis, mesianis, dan tradisionalis. Masing-masing mempunyai “keyakinan”
teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan. Dalam hal ini memang kurang
tepat digunakan istilah teologi, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran
keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta
penafsiran ajaran agama tertentu merupakan bentuk dari pemikiran teologi dalam
wajah baru.[6]
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui
bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang
menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing
mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sementara yang lainnya salah.
Dengan demikian, antara satu aliran dengan aliran lainnya tidak terbuka dialog
atau saling menghargai; yang ada hanyalah eksklusifisme, sehingga yang terjadi
adalah pemisahan dan pengkotak-kotakan.
Atas dasar pemaparan di atas, maka
pendekatan teologis dalam memahami agama
merupakan upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu
Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, pasti mengacu kepada agama tertentu.
Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta
penggunaan bahasa yang subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat
merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[7]
Berkaitan dengan hal tersebut, Amin
Abdullah mengatakan, yang menarik perhatian sekaligus perlu dikaji lebih lanjut
adalah mengapa ketika archetype atau form keberagaman manusia telah terpecah
dan termanifestasi dalam “wadah” formal teologi atau agama tertentu, lalu wadah
tersebut menuntut bahwa “kebenaran” yang dianutnya adalah yang paling benar.
Fenomena “mengklaim kebenaran” (truth claim), yang menjadi sifat dasar
teologi, tentu berimplikasi pada pembentukan mode of thought yang bersifat partikularistik, eksklusif, dan
intoleran. Mode of thought seperti
ini lebih menonjolkan aspek perbedaan dengan menutup rapat aspek persamaan.
Oleh karena itu, merupakan tugas mulia bagi para teolog yang berupaya
memperkecil kecenderungan tersebut dengan cara memformulasikan kembali khazanah
pemikiran teologi dengan mengacu pada titik temu antar penganut teologi.
Pada kenyataannya, teologi sering
berpusat pada persoalan doktrin, termasuk dalam studi Islam. Gagasan tentang
teologi dalam tradisi keagamaan juga cenderung menitikberatkan elemen
konseptual dalam agama sebagai sesuatu yang lebih sentral dibandigkan dengan praktik,
spiritualitas, atau perilaku.[8]
Selain itu, teologi juga berkepentingan dengan transedensi per se.[9]
Dewasa ini muncul teologi masa kritis,
yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan “iman” atau penghayatan
“agama”nya, suatu penafsiran atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam
konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub :
teks dan situasi; masa lampau dan masa kini. Hal yang demikian niscaya ada
dalam setiap agama meskipun dalam bentuk dan fungsinya yang berda-beda. Begitu
juga dalam agama Islam.
Selain itu, Frank Whaling mengungkapkan
bahwa telah muncul suatu pandangan baru tentang teologi dalam pandangan dunia (world view) global kontemporer saat dan
berusaha mengonseptialisasikan kategori-kategori teologis universal guna
memenuhi kebutuhan dunia. Ada tiga hal yang ditekankan oleh pandangan ini;
Pertama, teologi senantiasa berkaitan dengan Tuhan atau transendensi, dilihat
secara mitologis, filosofis, atau dogmatis. Kedua, doktrin tetap menjadi elemen
signifikan dalam memaknai teologi. Ketiga, teologi sesungguhnya adalah
aktivitas (second order activity)
yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan.[10]
Selanjutnya, sistem teologis dan bentuk
konseptual mengalami perkembangan. Ia berubah menurut konteks kultural dan concern kontemporer dalam lingkaran historis yang
terus berjalan. Dalam Islam, penekanan pada Allah sebagai yang transenden;
hanya Allah yang dimediasikan lewat al-Qur’an melalui Muhammad; dan penekanan
pada rukun Islam serta syari’ah (hukum Islam) sebagai kunci bagi kehidupan yang
benar, tetap, dan tidak berubah.[11]
C.
Beragam Pendekatan Teologis dalam Studi
Agama
1. Pendekatan
Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam
memahami agama, ialah upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu
ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap yang paling benar bila dibandingkan dengan elemen lainnya.[12]
Model pendekatan ini, oleh Muh.Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan
teologis-apologis. Hal itu karena pendekatan ini cenderung mengklaim diri
sebagai yang paling benar. Selain itu, pendekatan teologis normative memandang
yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau minimal keliru.
Dalam kerangka studi agama, normativitas
ajaran wahyu dibangun, dikemas, dan dibakukan melalui pendekatan
doktrinal-teologis. Pendekatan normatif ini berangkat dari teks yang sudah
tertulis dalam kitab suci masing-masing agama. Oleh karena itu, pendekatan ini
dianggap sebagai bercorak literalis, tektualis, dan skripturalis.[13]
Menurut Amin Abdullah, teologi senatiasa
mengacu pada agama tertentu. Adapun ciri yang melekat pada bentuk pemikiran
teologis diantaranya adalah loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan
dedikasi tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa
sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat.
Dari pemikiran tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa pendekatan teologis normatif dalam pemahaman keagamaan adalah
pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang
masing-masing dari bentuk forma simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim
dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi
yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnya-lah yang benar, sedangkan
faham lainnya adalah salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu
keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya.
Demikian pula paham yang dituduh keliru,
sesat dan kafir itupun menuduh kepada pihak lain sebagai yang sesat dan kafir.
Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah
menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dengan aliran
yang lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Oleh karena itu, yang
ada hanyalah ketertutupan, sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotak-kotakan.
Penelitian terhadap agama tertentu
dengan menggunakan pendekatan teologi normatif banyak ditemukan dalam
karya-karya orientalis Kristen, yang cenderung mendiskreditkan Islam. Mc.Donal
umpamanya, seperti yang dikutip oleh M. Natsir Mahmud mengatakan bahwa, “Islam
pada mulanya adalah ajaran Kristen yang diselewengkan oleh keadaan patologis
(penyakit jiwa) Muhammad.” Islam menurutnya adalah bagian pemikiran ketimuran.
Ada dua karakteristik pemikiran ketimuran menurutnya:
1.
Menghargai fakta dan
diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di sisi lain terkungkung.
2.
Tidak menghargai
kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.
Contoh tersebut hanya merupakan contoh
kecil dari sederetan pandangan subjektif Islamolog Kristen dalam memandang
Islam. Pandangan seperti itu, didasarkan pada pandangan subjektivitas tentang
kebenaran agama tertentu yang dianutnya.
Amin Abdullah, dalam hal ini
mengomentari bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan
esensial pluralitas agama dewasa ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian
harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya tidak pernah berdiri
sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial
kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial,
politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok
dan mengkristal dalam suatu komunitas masyarakat tertentu.
Uraian di atas bukan mengindikasikan
bahwa pendekatan teologis normatif dalam memahami agama hampir tidak
dibutuhkan. Namun, pada kenyataannya, proses pelembagaan perilaku keagamaan
melalui mazhab-mazhab, sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi, sangat
diperlukan untuk mengawetkan ajaran agama. Selain itu, pendekatan ini juga
berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun
masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
Jadi, pendekatan teologis memiliki arti
yang berkaitan dengan aspek ketuhanan. Sedangkan, normatif secara sederhana
diartikan dengan hal-hal yang mengikuti aturan atau norma-norma tertentu. Dalam
konteks ajaran Islam, normatif merupakan ajaran agama yang belum dicampuri oleh
pemahaman dan penafsiran manusia.[14]
Dengan kata lain, pendekatan teologis normatif dalam agama adalah melihat agama
sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit
pun dan nampak bersifat ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil sangat prima
dengan seperangkat cirinya yang khas.
Pendekatan normatif dapat diartikan
studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi
normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam
dari apa yang tertera dalam teks Al-Quran dan Hadits. Pendekatan normatif dapat
juga dikatakan pendekatan yang bersifat domain keimanan tanpa melakukan kritis
kesejarahan atas nalar lokal dan nalar zaman yang berkembang, serta tidak
memperhatikan konteks kesejarahan Al-Quran. Pendekatan ini mengasumsikan
seluruh ajaran Islam baik yang terdapat dalam Al-Quran, Hadits maupun ijtihad
sebagai suatu kebenaran yang harus diterima saja dan tidak boleh diganggu gugat
lagi.[15]
Dalam konteks agama Islam misalnya,
secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Seperti halnya dalam
bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan,
kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan
sebagainya. Sementara itu, dalam bidang ekonomi, agama tampil menawarkan
keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan. Demikianlah, agama
tampil sangat ideal dan ada yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat
dalam ajaran agama yang bersangkutan.
2. Pendekatan
Teologis–Dialogis
Pendekatan teologis–dialogis adalah
mengkaji agama tertentu dengan mempergunakan perspektif agama lain. Model
pendekatan ini, banyak digunakan oleh orientalis dalam mengkaji Islam.
Seorang Islamolog Barat, Hans Kung,
seperti yang disinyalir oleh M. Natsir Mahmud, dalam berbagai tulisannya
terkait dengan pengkajian Islam menggunakan pendekatan teologis-dialogis, yakni
bertolak dari perspektif teologi Kristen. Kung menyajikan pandangan-pandangan
teologi Kristen dalam melihat eksistensi Islam, mulai dari pandangan teologis
yang intern sampai pandangan yang toleran, yang saling mengakui eksistensi
masing-masing agama.
Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan
teologis yang diajukan Kung adalah, bahwa apakah Islam merupakan jalan
keselamatan? Pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk melihat apakah Islam
sebuah agama yang menyelematkan penganutnya bila dilihat dari teologi Kristen.
Kung mengemukakan pandangan beberapa teolog Kristen, misalnya, Origan, yang
mengeluarkan pernyataan controversial, yakni “Ekstra Gelesiam Nulla Sulus”, artinya tidak ada keselamatan di luar
gereja.
Selain itu, pendekatan teologis-dialogis
juga digunakan oleh W. Montgomery Watt. Hakikat dialog menurut Watt, sebagai
upaya untuk saling mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka
dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap
merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan
ajaran yang bersifar apologis dari masing-masing agama.
Sementara itu, C.W. Trell mengomentari
penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal: (1) masing-masing penganut agama
saling mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan yang beriman, (2) sebagai
konsekuensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin masing-masing agama untuk
dapat membawa pada keimanan kepada Tuhan secara damai, (3) melakukan
kritik-kritik yang menghasilkan visi baru. Watt dalam hal ini berusaha
melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama yang mengandung nada apologis
terhadap agama lain.
3. Pendekatan
Teologis-Konvergensi
Pendekatan teologi konvergensi"
adalah merupakan metode pendekatan terhadap agama dengan melihat unsur-unsur
persamaan dari masing-masing agama atau aliran. Adapun maksud dari pendekatan
ini ialah ingin mempersatukan unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga
tidak nampak perbedaan yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan
penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya
disatukan sebagai satu umat beragama.
Dalam hal pendekatan teologi konvergensi
ini, Wilfred Contwell Smith menghendaki agar penganut agama-agama dapat
menyatu, bukan hanya dalam dunia praktis, tetapi juga dalam pandangan teologis.
Sehubungan dengan hal tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan “di mana letak
titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama?”
Dalam hal ini Smith terlebih dahulu membedakan antara faith (iman) dengan belief (kepercayaan).
Di dalam faith, agama-agama dapat
disatukan, sedangkan dalam belief
tidak dapat menyatu.
Menurut Smith, belief seringkali normatif dan intoleran. Selain itu, belief bersifat histotik yang mungkin
secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain. Atas dasar belief itulah penganut agama
berbeda-beda, dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik. Sebaliknya,
dalam faith, umat beragama dapat
menyatu. Jadi, orang bisa berbeda dalam kepercayaan (belief), tetapi menyatu dalam faith.
Sebagai contoh, dalam masyarakat Islam terdapat berbagai aliran teologis maupun
aliran fiqih. Mereka mungkin penganut aliran al-Asy'ariyah atau Mu'tazilah atau
pengikut Imam Syafi'i atau Imam Hambal. Belief
mereka berbeda yang mungkin menimbulkan sikap keagamaan yang berbeda, tetapi
mereka tetap satu dalam faith (iman).
Demikian pula, antara penganut agama, mereka berbeda dalam belief dan respon keagamaan yang berbeda, tetapi hakikatnya menyatu
dalam faith.
Dari ketiga metode pendekatan teologis
tersebut di atas, maka yang paling akurat dipergunakan menurut analisa penulis
adalah pendekatan teologis konvergensi, di mana pendekatan ini telah tercakup
di dalamnya nilai-nilai normatif dan dialogis. Lain halnya dengan menggunakan
metode pendekatan normatif atau dialogis saja, belum tentu terdapat unsur
konvergensi di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama sebagai
objek kajian dapat didekati dengan mempergunakan berbagai pendekatan.
Pendekatan teologi dalam memandang suatu agama atau ajaran terkadang masih
sulit untuk mewujudkan objektivitas, sebab sering seorang peneliti dalam
melakukan penelitian, diwarnai dengan pola pikir berdasarkan doktrin yang
dianutnya. Kecenderungan seperti itu, cenderung melahirkan hasil penelitian
yang bersifat apologis dan menutup mata terhadap kemungkinan adanya kebenaran
ajaran-ajaran di luar yang dianutnya.
Studi islam
secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk
memahami cara mendekati islam,baik pada tataran realitas-empirik maupun
normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas. Islam tidak bisa dilihat dari satu
sudut pandang saja, seraya menafikan sudut pandang lainya yang kehadirannya
sama-sama penting. Apabila Islam hanya dilihat dari satu sisi saja, maka akibat
yang ditimbulkannya adalah reduksi dan distorsi makna. Implikasi logis dari hal
tersebut adalah gambaran Islam yang utuh, tanpa diwarnai oleh sikap apologetik
dan truth claim sepihak, akan sulit
dicapai.
Perkembangan zaman yang senantiasa berubah dan disertai munculnya berbagai persoalan
baru dalam kehidupan manusia, akhirnya menjadi sebuah tuntutan untuk memahami
agama sesuai zamanya. Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab
manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan
tologis-normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan
lain yang secara oprasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap
masalah yang timbul. Oleh karena itu, sebaiknya umat Islam tidak hanya memahami
Islam melalui pendekatan teologis saja, agar pemahaman tentang Islam menjadi
integral, universal, dan komprehenshif.
DAFTAR
PUSTAKA
Bourne, V.J., Aquinas’ Search for Wisdom, Milwaukee
: Bruce, 1965.
Buchori, Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam,
Connolly (ed.), Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta : LKiS, 2009.
Hilmi, Masdar dan A.Muzakki, Dinamika Baru Studi
Islam, Arkola, Surabaya, 2005.
Mudzhar, H.M.Atho, Pendekatan Studi Islam : dalam Teori dan Praktek, 1998.
Nasution, Harun, Teologi
Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: UI Press, 1978,
Nata, Abuddin,
Metodologi Studi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Sharpe, Eric J,
Comparative Religion of History, London : Duckworth, 1986.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamiin, banyak nikmat yang Allah
berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji untuk Allah atas
segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul ”Pendekatan Kajian Teologis Islam”.
Penulis menyadari dalam makalah ini masih terdapat
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini
bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bengkulu, Desember 2014
Penulis
|
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN..................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN...................................................................... 2
A. Teologi Islam (Ilmu Kalam)........................................................ 2
B. Pendekatan Teologis dalam Studi
Agama Islam......................... 3
C. Beragam Pendekatan Teologis
dalam Studi Agama................... 5
BAB
III PENUTUP.............................................................................. 10
Kesimpulan.............................................................................................. 10
DAFTAR
PUSTAKA
|
[1] Di era ini,
narasi-narasi kecil kembali muncul ke permukaan; tidak ada kebenaran mutlak.
[2] Lihat H.M.Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam : dalam
Teori dan Praktek, 1998, hlm. 13-14.
[3] Lihat V.J.Bourne, Aquinas’ Search for Wisdom, Milwaukee : Bruce, 1965.
[4] Lihat Harun Nasution,
Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta:
UI Press, 1978, cet.I, hlm.32.
[5] Didin Saefuddin
Buchori, Metodologi Studi Islam,
hlm.84
[6] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hlm.29.
Selanjutnya disebut sebagai Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam.
[7] Eric J.Sharpe, Comparative Religion of History, London
: Duckworth, 1986, hlm.313.
[8] Lihat Peter Connolly
(ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta
: LKiS, 2009, hlm.320. Selanjutnya disebut sebagai : Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama.
[9] Lihat Peter Connolly
(ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm.320
[10] Lihat Peter Connolly
(ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm.319
[11] Lihat Peter Connolly
(ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm.331
[12]
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Hlm 28.
[13]
Masdar Hilmi dan A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, Arkola
Surabaya,2005, Hlm 109. Selanjutnya disebut sebagai : Masdar Hilmi dan
A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam.
[14] Masdar Hilmi dan
A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, hlm. 63.
[15] Masdar Hilmi dan
A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, hlm. 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar